Makalah | Objek Dan Pengendalian Moral

Makalah | Objek Dan Pengendalian Moral
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah sebuah negara yang berideologi Pancasila. Pancasila yang sila-silanya diambil dari nilai luhur bangsa Indonesia, nilai tersebut adalah :
1. Nilai Ketuhanan
2. Nilai Kemanusiaan
3. Nilai Persatuan
4. Nilai kerakyatan
5. Nilai Keadilan

Sebagai sebuah bangsa yang mengakui adanya Tuhan melalui 5 agama yang diakui di Indonesia maka sudah selayaknya Indonesia menjunjung tinggi nilai moral yang terdapat dalam Ideologi bangsa Indonesia. Dalam kenyataan nya di Indonesia masih sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai moral sebagai ideologi bangsa, hal ini dibuktikan oleh beberapa ilustrasi kasus sebagai berikut :
  1. Kasus Korupsi Oleh Beberapa Pejabat Negara ( seperti : Suthan Batoegana terjerat kasus SKK Migas, Gatot Pudjo terjerat kasus Penyelundupan dana bansos Provinsi Sumatera Utara, dan masih banyak lainnya)
  2. Kasus Kekerasan Terhadap Anak (seperti : Anggeline yang disiksa Ibu Angkatnya Hingga Meninggal, Pencabulan Anak oleh Saiful Jamil, dan lainnya)
Berdasarkan cerminan kasus diatas maka penting untuk dilakukannya pengendalian moral terhadap diri individu dan masyarakat luas. Pengendalian yang dilakukan berdasarkan teori-teori moral yang haruss di pahami sebagai bentuk penyelesaian penyimpangan moral oleh masyarakat. Makalah ini akan membahas mengenai objek moral, dan pengendalian moral dalam diri individu dan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata cara atau adat istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592) menjelaskan bahwa moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Menurut Bambang Daroeso (1986: 22) merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensif, yaitu sebagai berikut:
  1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok menusia di dalam lingkungan tertentu.
  2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
  3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 237) etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau niai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. (Muchson dan Samsuri, 2013: 1-3).
Berdasarkan analisis penulis bahwa moral merupakan bentuk abstrak nya sedangkan etika sebagai bentuk konkret dari perilaku moral yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

B. Teori-Teori Moral

Teori Piaget Jean Piaget (1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori struktural-kognitif. Teori ini melihat perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitas itu. Fokus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Kurtines, 1992: 513). Teori struktur-kognitif Piaget dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai struktur kognitif dan perkembangan penalaran moral (moral reasoning) yang termuat dalam karya klasiknya yang terbit pertama kali pada 1932, The Moral Judgement of the Child (Conn, 1982: 378). Piaget melakukan penelitiannya dengan mengamati anak-anak yang bermain kelereng. Pengamatan Piaget menunjukkan adanya kontradiksi yang jelas antara perubahan persepsi yang berkaitan dengan usia dan ketaatan terhadap aturan. Kontradiksi yang dimaksud diselesaikan dengan jalan mengklasifikasikan penalaran moral dan anak-anak yang agak kecil dan yang agak besar (Burton, 1992: 323-324). Berdasarkan penelitian itu dirumuskan dua buah urutan perkembangan yang paralel: satu rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan aturan, sedang rumusan lainnya berkenaan dengan kesadaran akan peraturan. Masing-masing urutan perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat eksternal, egosentris dan heteronom, ke arah orientasi yang menunjukkan adanya keinginan untuk bekerjasama dan berpegang pada aturan itu sebagai hasil perjanjian bersama (Turiel dan Smetana, 1992:459). 34 Pengamatan Piaget tersebut dapat diringkaskan dalam skema sebagai berikut (Dwija Atmaka, 1981 dalam Soenarjati dan Cholisin, 1989: 34)

Pelaksanaan tahap tahap ego- tahap tahap kodifikasi Peraturan motor sentrik koperatif awal peraturan activity Usia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kesadaran peraturan hanya peraturan dianggap suci, peraturan-peraturan akan Pera- ditiru tanpa tak boleh diganggu gugat, sebagai ukum yang turan kesadaran berasal dari orang dewasa, merupakan kesepaabadi; merubah peraturan katan ersama;dapat salah besar diubahkalau disetujui oleh umum. Secara rinci skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Pada Level I Pada anak sekitar usia 1 sampai 2 tahun, pelaksanaan peraturan masih bersiifat motor acitivity, belum ada kesadaran akan adanya peraturan. Semua geraknya masih belum dibimbing oleh pikiran tentang adanya peraturan yang harus ditaatinya.
  2. Pada Level II Pada usia sekitar 2 sampai 6 tahun, sudah mulai ada kesadaran akan adanya peraturan, namun menganggap peraturan itu bersifat suci, tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, merubah peraturan merupakan kesalahan besar. Dalam pelaksanaan peraturan mereka ini masih bersifat egosentrik, berpusat pada dirinya.
  3. Pada Level III Pada usia sekitar 7 sampai 10 tahun pelaksanaan peraturan sudah mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat untuk memahami peraturan, dan setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronomi mulai bergeser pada sifat otonomi.
  4. Pada Tahap IV Pada usia sekitar 11 sampai 12 tahun kemampuan berpikir anak sudah mulai berkembang. Pada tahap ini sudah ada kemampuan untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan (Soenarjati dan Cholisin, 1989: 34-35).
Dari skema di atas tampak bahwa keputusan moral anak berubah seiring dengan pertumbuhan usianya (Conn, 1982: 378). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan moral terdapat pergeseran yang sifatnya alami, yang terjadi secara bersamaan dengan atau segera setelah peralihan kognitif dari pemikiran pra-operasional ke arah pemikiran operasional, di sekitar usia tujuh tahun. Pergeseran tersebut berlangsung sedemikian, sehingga anak yang bersangkutan untuk pertamakalinya mulai menyadari maksudnya sendiri serta memanfaatkan informasi ini dalam mengadakan pertimbangan moral yang menyangkut orang lain (Liebert, 1992: 291).

Pada bagian lain, pertimbangan moral berkembang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Piaget tentang konflik moral-kognitif dengan organisasi tahapan urutan. Tahapan perkembangan pertimbangan moral Piaget mengandung suatu proses berjalur tunggal. Artinya, pertimbangan moral tidak timbul dari tindakan moral itu sendiri. Suatu tahapan dari pertimbangan moral mungkin mengandung suatu perilaku baru, demikian pula halnya suatu tindakan yang mengandung konflik dan pilihan mungkin membawa orang untuk menata suatu tahapan baru dari pertimbangan moral. Piaget membedakan antara moral praktis dengan moral verbal dari pertumbuhan anak. Menurut Piaget (1932), "Moral verbal selalu saja muncul, setiap kali si anak diminta untuk menimbang tindakan orang lain yang tidak langsung menarik perhatiannya atau memaksanya untuk mengemukakan pendapatnya terhadap prinsip-prinsip umum, lepas dari perbuatannya yang aktual" (Kohlberg dan Candee, 1992: 87).

Sedangkan moralitas praktis "merupakan pemikiran moral yang efektif, yang menyebabkan anak membuat pertimbangan moral yang serupa yang akan membimbingnya dalam setiap kasus khusus." Pertimbangan-pertimbangan tersebut mencerminkan pemikiran anak yang sebenarnya, jauh lebih dalam dibandingkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang dikatakannya (yang verbal) dan berada di bawah tahapan formula yang dinyatakan secara lisan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa "Suatu permasalahan moral yang secara teoritis dihadapi seorang anak berbeda dengan praktik moralnya seperti halnya suatu permasalahan intelektual berbeda dengan praktik logisnya" (Ibid).

Teori Kohlberg Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg merupakan pengembangan teori struktural-kognitif yang telah dilakukan Piaget sebelumnya. Di atas bangunan teori Piaget itu, Lawrence Kohlberg mengusulkan suatu teori perkembangan pemikiran moral (teori development-kognitif). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu melalui sebuah "urutan berbagai tahapan" (invariant sequence of stages) moral. Tiap-tiap tahap ditandai oleh struktur mental khusus (distinctive) yang diekspresikan dalam bentuk khusus penalaran moral (Kneller, 1984: 110). Berdasarkan penelitiannya yang cukup lama, Kohlberg mengidentifikasikan enam tahap yang terbagi ke dalam tiga level perkembangan pemikiran moral. Kemudian, Kohlberg menyempurnakannya menjadi tujuh tahap. Keseluruhan tahap itu secara ringkas dibagankan sebagai berikut (Soenarjati dan Cholisin, 1989: 37; Kneller, 1984:110):
Selama tahap-tahap pre-konvensional anak tidak memiliki ide tentang aturan-aturan atau standard moral.
  1. Pada "Tahap 1" anak melakukan perbuatan baik semata-mata untuk menghindari hukuman,
  2. Tahap 2" anak akan mematuhi apapun sepanjang memenuhi kepuasan/kebutuhan sendiri ataupun orang lain. Selama tahap-tahap konvensional anak menghormati moralitas sebagai seperangkat aturan sosial dan harapan-harapan sosial.
  3. Pada "Tahap 3" perbuatan baik adalah perbuatan yang membuat orang senang dan orang lain setuju atas apa yang diperbuatnya; sedangkan
  4. Pada "Tahap 4" perbuatan baik dilakukan dengan menjalankan kewajiban dan menghormati otoritas. Selama tahap-tahap post-konvensional/principled ini moralitas konvesional dirumuskan ke dalam nilai-nilai moral yang lebih dalam.
  5. Pada "Tahap 5" seseroang percaya bahwa dengan dan melakukan sesuatu yang benar secara luas untuk mendukung kesejahteraan umum.
  6. Dalam "Tahap 6" tindakan yang benar adalah berbuat mengikuti prinsip-prinsip universal keadilan dan menghormati orang lain sebagaimana orang lain menghormati di dalam diri mereka sendiri.
  7. Dalam "Tahap 7" orientasi religius menggabungkan prinsip-prinsip tersebut dengan suatu perspektif di atas puncak makna kehidupan (life's ultimate meaning) (Kneller, 1984: 110). Menurut Kohlberg (Kneller, 1984: 110-111), tiap-tiap pertimbangan moral adalah produk dari sebuah perbedaan struktur kognitif, yaitu suatu pengorganisasian sistem asumsi-asumsi dan aturan-aturan tentang situasi konflik moral yang memberikan situasi makna terhadap asumsi dan aturan tersebut. Struktur kognitif tidak terjadi karena pembawaan tetapi merupakan hasil interaksi organisme manusia dengan "lingkungan sosial"-nya.
Fungsi pertimbangan moral adalah untuk memecahkan konflik klaim-klaim pribadi dengan lainnya. Kohlberg mengklaim bahwa teorinya (tentang perkembangan moral) tidak hanya menjadi psikologi tetapi juga "filsafat moral". Teorinya menyatakan tidak hanya bertindak dalam fakta "melebihkan tahap tertinggi dari pertimbangan (moral) mereka secara keseluruhan", tetapi juga bahwa tahap ini adalah "secara objektif dapat lebih baik atau lebih memadai" daripada tahap sebelumnya "dengan kriteria moral yang pasti". Apakah kirteria-kriteria itu? Kohlberg mengatakan bahwa kriteria tersebut mencakup kroteria diferensiasi dan integrasi "formal".

Di dalam tiap-tiap tahap hak dan kewajiban menjadi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi. Contohnya, pada "Tahap 5" orang dipertimbangkan untuk mempunyai hak-hak alaminya bahwa masyarakat seharusnya (ought to) menghormatinya. Sementara itu, hak-hak alami menjadi terdiferensiasi dari pemberian hak-hak secara sosial. Kembali pada "Tahap 6", hak-hak yang orang miliki dengan sendirinya menciptakan kewajiban dalam berhubungan dengan orang lain. Di sini hak dan kewajiban menjadi "korelatif secara lengkap" (completely correlative) dan menjadi "terintegrasi lebih baik" daripada tahap-tahap sebelumnya, di mana kewajiban-kewajiban adalah "apa yang orang terikat perjanjian/kontrak untuk memenuhi ketertiban supaya menghormati hak-hak yang orang lain miliki" (Kneller, 1984: 111-112).

C. Pengendalian Moral
Pengendalian moral termasuk dalam kesadaran moral yang dimana seseorang mampu berperilaku jujur, menurut moralitas bersyukur (ketika memperoleh sesuatu), bersabar (ketika mendapat ujian hidup) dan berikhlas (ketika harus kehilangan). Sesungguhnya, kesadaran moral itu selalu ada di dalam diri setiap orang. Hanya saja sering kali terhalang oleh nafsu negatif yang mendorong suatu perbuatan dilakukan. (Jurnal suhartono)

Dalam pengendalian moral, objek yang paling utama yang dilakukan untuk menghindari atau mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat yaitu perlu adanya pendidikan terutama pendidikan moral. Karena pendidikan moral sangatlah penting untuk menjaga diri dari sifat dan tingkah laku yang buruk.

Pendidikan moral merupakan satu kegiatan yang membantu seseorang terutama anak untuk menuju ke arah yang sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak sekedar memaksakan pola-pola eksternal terhadapnya. Oleh karena itu kita perlu menerapkan pendidikan tersebut agar moral atau budi pekerti kita bisa lebih baik lagi.

Pengendalian moral juga dapat dilakukan dengan peranan pendidikan (edukasi) dalam mengadakan perubahan (transformasi) masyarakat (Zuriah, 2007: 7) yaitu, sebagai berikut:
  1. Menjaga generasi sejak masa kecil dari berbagai penyelewengan ala jahiliah. Mengembangkan pola hidup, perasaan, dan pemikiran mereka sesuai dengan fitrah, agar mereka menjadi fondasi yang kukuh dan sempurna di masyarakat.
  2. Karena pendidikan berjalan seiring dengan perkembangan anak-anak, maka pendidikan akan sangat memengaruhi jiwa dan perkembangan anak serta akan menjadi bagian dari kepribadiannya untuk kehidupannya kelak kemudian hari.
  3. Pendidikan sebagai alat terpenting untuk manjaga diri dan memelihara nilai-nilai positif. Pendidikan mengemban dua tugas utama yang saling kontradiktif, yaitu melestarikan dan mengadakan perubahan.
Pengendalian moral juga memerlukan suatu tindakan moral yang memiliki tiga tipe (Muchson dan Samsuri, 2013: 46) yaitu sebagai berikut:
  1. Tipe rasionalis, yaitu seorang etis murni yang menurut Kleinberger diwakili oleh Immanuel Kant dan Lawrence Kohlberg. Tipe ini memandang penalaran moral sebagai suatu keharusan serta mencakup bagi lahirnya suatu tindakan moral.
  2. Tipe naturalistik, yaitu seorang etis yang bertanggung jawab yang menurut Kleinberger diwakili oleh Aristoteles dan John Dewey. Tipe ini berpandangan bahwa moral itu merupakan suatu keharusan, akan tetapi tidak mencakup untuk melahirkan suatu tindakan moral.
  3. Tipe behavioralistik-sosial. Dalam pandangan tipe ini moralitas dapat ditentukan tanpa merujuk kepada pola pkir sang pelaku. Tokoh etisi tipe ini antara lain Aronfreed, Bandura, Eysenck, Havighurst dab Taba (Kohlberg dan Candee, 1992: 88-89).
Sumber-Sumber Ajaran Moral
Relevan dengan uraian mengenai pengendalian moral, maka disini dikemukakan sumber-sumber moral, yaitu agama, hati nurani, dan adat istiadat/budaya (Muchson dan Samsuri, 2013: 18-20).

1. Agama
Sebagaimana sering diakui oleh banyak orang bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan, yang berarti setiap agama mengandung ajaran moral. Secara umum, agama tidak hanya mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan manusia terhadap Tuhan (ibadah), akan tetapi juga kewajiban-kewajiban untuk berbuat baik terhadap sesama manusia dan lingkungan.

2. Hati Nurani
Hati nurani dapat disebut sebagai unsur batin manusia, perasaan manusia yang paling dalam, yang secara kodrati mendapatkan cahaya dari Tuhan. Hati nurani menyimpan potensi moral dan setiap manusia dengan bantuan akal budinya mampu membedakan antara hal-hal yang baik dan buruk.

Tanpa hati nurani, manusia bahkan bisa lebih buas dari pada binatang buas. Kemampuan akal budi juga diyakini oleh para filsuf Yunani Kuno, sehingga setiap manusia dimanapun dan kapanpun mampu menemukan kebaikan-kebaikan yang berifat universal. Pada umumnya nilai-nilai moral agama yang berhubungan dengan sesame manusia juga menjadi nilai-nilai moral kesusilaan, seperti larangan membunuh, mencuri, berdusta dan sebagainya.

3. Adat Istiadat dan Budaya

Adat istiadat adalah suatu tata cara yang berlaku dalam lingkungan masyarakat tertentu, yang berlangsung secara turun-temurun. Adat istiadat merupakan bagian dari budaya masyarakat. Manusia sebagai pendukung kebudayaan akan terikat pada adat istiadat yang berlaku dalam lingkungan masyarakatnya.

Jadi pada dasarnya adat istiadat itu bersifat lokal, hanya berlaku dalam lingkungan masyarakat tertentu. Dengan demikian sifatnya tidak universal, melainkan cultural, kontekstual, dan juga bersifat relatif. Apa yang dianggap tidak baik menurut adat istiadat masyarakat tertentu belum tentu juga dianggap tidak baik oleh masyarakat lain.

Adat istiadat dan budaya dapat menjadi sumber ajaran moral, terutama dalam pengertian moral kesopanan. Bangsa Indonesia sebagai bagsa yang “berbhineka”, majemuk, atau pluralistic, memiliki kekayaan adat istiadat dan budaya daerah yang beranekaragam.

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Merosotnya Moral


Menurut Zakiyah Darajat (1971: 13) ada banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan kemerosotan moral seseorang (Kokom, Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim Vol. 9 No. 1 2011: 47-50) diantaranya ialah:

1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat.
Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianut, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan bentung moral yang paling kokoh. Apabila keyakinan beragama itu betul-betul telah menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinannya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Jika terjadi tarikan orang kepada sesuatu yang tampaknya menyenangkan dan menggembirakan, maka keimanannya cepat bertindak meneliti apakah hal tersebut boleh atau terlarang oleh agamanya. Andaikan termasuk hal yang terlarang, betapapun terikan luar tersebut tidak akan di indahkannya, karena ia takut melaksanakan yang terlarang dalam agama.

2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik.
Faktor kedua yang ikut memengaruhi moral masyarakat ialah kurang stabilnya keadaan, baik ekonomi, sosial maupun politik. Kegoncangan atau ketidakstabilan suasana yang melingkupi seseorang menyebabkan gelisah dan cemas, akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan ketenteraman dalam hidup.

Demikian juga dengan keadaan sosial dan politik, jika tidak stabil, maka akan menyebabkan orang merasa takut, cemas dan gelisah, dan keadaan seperti ini akan mendorong pula kepada kelakuan-kelakuan yang mencari rasa aman yang kadang-kadang menimbulkan kecurigaan, tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan, kebencian kepada orang lain, adu domba, fitnah dan lain sebagainya. Hal ini semua mudah terjadi pada orang yang kurang keyakinannya kepada agama, dan mudah menjadi gelisah.

3. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik di rumah tangga, sekolah maupun masyarakat
Faktor ketiga yang juga penting adalah tidak terlaksananya pendidikan moral dengan baik dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pembinaan moral seharusnya dilaksanakan sejak anak kecil sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir belum mengerti mana yang benar dan yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. tanpa dibiasakan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik untuk pertumbuhan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu.

4. Suasana rumah tangga yang baik
Faktor yang terlihat dalam masyarakat sekarang ialah kerukunan hidup dalam rumah tangga kurang terjamin.tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling mencintai, diantara suami istri. Tidak rukunny ibu-bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak, mereka menjadi takut, cemas, dan tidak tahan berada ditengah-tengah orang tua yang tidak rukun.

Maka anak-anak yang gelisah dan cemas tersebut mudah terdorong kepada perubahan-perubahan yang merupakan ungkapan dari rasa hatinya, biasanya akan mengganggu ketenteraman orang lain.

Demikian juga halnyadengan anak-anak yang merasa kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan pemeliharaan orang tua akan mencari kepuasan di luar rumah.

5. Diperkenalkannya secara populer obat-obat dan alat-alat anti hamil
Seperti yang diketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru mengalami dorongan seksual akibat pertumbuhan biologi yang dilaluinya., mereka belum mempunyai pengalaman , dan jika mereka belum juga mendapat didikan agama yang mendalam, mereka akan dengan mudah dapat dibujuk oleh orang-orang yang tidak baik yang hanya melampiska hawa nafsunya. Dengan demikian, akan terjadilah obat atau alat-alat itu digunakan oleh anak-anak muda yang tidak terkecuali anak-anak sekolah atau mahasiswa yang dapat dibujuk oleh orang yang tidak baik itu oleh kemauan mereka sendiri yang mengikuti arus darah mudanya, tanpa terkendali.

6. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar dan tuntutan moral
Suatu hal yang belakangan ini kurang mendapat perhatian kita ialah tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, kesenian-kesenian, dan permainan-permainan yang seolah-olah mendorong anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi moral dan mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi begitu saja. Lalu digambarkan dengan sangat realistis, sehingga semua yang tersimpan di dalam hati anak-anak muda diungkap dan realisasinya terlihat dalam cerita, lukisan atau permainan tersebut. Ini pun mendorong anak-anak muda kejurang kemerosotan moral.

7. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang (leisure time) dengan cara yang baik, dan yang membawa kepada pembinaan moral
Suatu faktor yang juga telah ikut memudahkan rusaknya moral anak-anak muda ialah kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu luang dengan yang baik dan sehat. Umur muda adalah umur suka berkhayal, melamunkan hal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan dalam mengisi waktunya, maka akan banyak lamunan dan kelakuan yang kurang sehat timbul dari mereka.

8. Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan pemuda-pemuda
Terakhir perlu dicatat, bahwa kurangnya markas bimbingan dan penyuluhan yang akan menampung dan menyalurkan anak-anak kearah mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak adanya tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu, maka pergilah mereka berkelompok dan bergabung dengan anak-anak yang juga gelisah. Dari sini akan keluarlah model kelakuan yang kurang menyenangkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Moral sebagai bentuk abstrak mengenai perilaku baik atau buruk individu atau masyarakat, sedangkan etika merupakan perilaku konkret dari moral. Dalam perkembangan moral menurut kohlber dan piaget menyatakan bahwa perkembangan moral masyarakat dipengaruhi dari berbagai faktor, yakni lingkungan masyarakat, dan keluarga. Individu dan masyarakat adalah objek dari proses moral itu sendiri. Proses pengendalian moral dapat dilakukan melalui agama, adat-istiadat, dan pendidikan.

B. Saran
Penulis melihat bahwa perkembangan moral yang terjadi di masyarakat sekarang ini sering terjadi penyimpangan perilaku moral, hal ini dikarenakan perkembangan teknologi dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penggunaan dan penyaringan teknologi yang baik dan benar. Hal ini menjadi tugas bersama untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang bermoral dan beretika pancasila.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Elly M. Setiadi, et al. 2008. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Goup.
  2. Haricahyono, Cheppy. 1995. Dimensi-Dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press.
  3. Muchson dan Samsuri. 2013. Dasar-Dasar Pendidikan Moral. Yogyakarta: Ombak.
  4. Zubair, Ahmad Charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  5. Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual Dan Futuristik. Jakarta: PT Bumi Aksara.


Read More

Makalah | Pengantar Akuntansi II Koperasi dan Perpajakan

Makalah | Pengantar Akuntansi II Koperasi dan Perpajakan
BAB I 
 PENDAHULUAN
 
 
A. KOPERASI
1. Latar Belakang
Koperasi merupakan lembaga dimana orang-orang yang memiliki kepentingan relatif homogen berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraannya. Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha yang cukup strategis bagi anggotanya dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomis yang pada gilirannya berdampak kepada masyarakat secara luas. Di sektor pertanian misalnya, peranserta koperasi di masa lalu cukup efektif untuk mendorong peningkatan produksi khususnya di subsektor pangan. Selama era tahun 1980-an, koperasi terutama KUD mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang diperhitungkan dalam program pengadaan pangan nasional. Ditinjau dari sisi produksi pangan khususnya beras, peran signifikannya dapat diamati dalam hal penyaluran prasarana dan sarana produksi mulai dari pupuk, bibit, obat-obatan, RMU sampai dengan pemasaran gabah atau beras. Meskipun demikian dari sisi konsumsi, ketersediaan bahan pangan bagi konsumen seringkali menjadi bahan perbincangan sebab jaminan kualitas dan kuantitas tidak selalu terpenuhi. Sementara itu, di dalam negeri telah terjadi berbagai perubahan seiring dengan berlangsungnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan kondisi tersebut membawa konsekuensi serius dalam hal pengadaan bahan pangan. 
 
Secara konseptual liberalisasi ekonomi dengan menyerahkan kendali roda perekonomian kepada mekanisme pasar ternyata dalam prakteknya belum tentu secara otomatis berpihak kepada komunitas ekonomi lemah atau kecil. Kondisi yang relatif identik berlangsung di sektor pangan dan diperkirakan karena belum tertatanya sistem produksi dan distribusi dalam mengantisipasi perubahan yang sudah terjadi. Semula peran Bulog sangat dominan dalam pengadaan pangan dan penyangga harga dasar, tetapi sekarang setelah tiadanya paket skim kredit pengadaan pangan melalui koperasi dan dihapuskannya skim kredit pupuk bersubsidi maka pengadaan pangan hampir sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. 
 
Sebagai dampaknya, peran koperasi dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan semakin tidak berarti lagi. Bahkan sulit dibantah apabila terdapat pengamat yang menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi memiliki konsep dan program pembangunan koperasi yang secara jelas memposisikan koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Sebelum masa krisis (tahun 1997) terdapat sebanyak 8.427 koperasi yang menangani ketersediaan pangan, sedangkan pada masa krisis (tahun 2000) terjadi penurunan menjadi 7.150 koperasi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2003). Fakta ini mengungkap berkurangnya jumlah dan peran koperasi dalam bidang pangan, meskipun begitu beberapa koperasi telah melakukan inovasi model-model pelayanan dalam bidang pangan seperti bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi. Fakta lain menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir (tahun 2001 2003), terdapat kesenjangan antara produksi padi dan jagung dengan kebutuhan konsumsi yang harus ditanggulangi dengan impor. Akibatnya, ketahanan pangan di dalam negeri dewasa ini menghadapi ancaman keterpurukan yang cukup serius. 
 
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya dan tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya dan terjangkau oleh rumahtangga. Konsep ketahanan pangan lebih ditekankan pada konteks penawaran (supply side) yang tidak terpisahkan dari proses distribusi dan pemasaran hingga ke pintu konsumen. Bertitik tolak dari kondisi empirik tersebut, terdapat pemikiran untuk meninjau kembali peran koperasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional, khususnya di sektor perberasan. Oleh karena itu, Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) menganggap penting dilakukannya suatu kajian strategis mengenai peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan nasional.

2. Tujuan
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam menunjang ketahanan pangan berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi pupuk dan beras.
Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud.
Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan gabah/beras di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan.
Merumuskan model alternatif yang dapat diimplementasikan oleh koperasi guna mendukung ketahanan pangan nasional.

3. Ruang Lingkup Ruang lingkup kajian ini meliputi beberapa aspek antara lain :
  1. Keragaan distribusi pupuk dari produsen hingga ke konsumen sesuai perubahan kebijakan yang ada.
  2. Pelayanan koperasi terhadap kegiatan produksi (gabah) petani dan pengadaan gabah/beras oleh koperasi.
  3. Pengembangan model bank padi, lumbung pangan, dan sentra-sentra pengolahan padi untuk mendukung ketahanan pangan.
  4. Kinerja kelembagaan koperasi dalam ketahanan pangan nasional.
  5. Pola koperasi/KUD dalam distribusi pangan yang dirintis di beberapa daerah.
  6. Kebijakan daerah dan kebijakan nasional untuk ketahanan pangan.

B. TEORI
1. Pengertian Koperasi
Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Berikut di bawah ini adalah landasan koperasi indonesia yang melandasi aktifitas koperasi di indonesia.
- Landasan Idiil = Pancasila
- Landasan Mental = Setia kawan dan kesadaran diri sendiri
- Landasan Struktural dan gerak = UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1
Landasan, Asas, dan Tujuan Koperasi Indonesia sebagaimana diatur dalam UU 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dijelaskan pada bab II dalam dua pasal. Landasan dan asas koperasi dijelaskan dalam pasal 2, dan tujuan koperasi dijelaskan dalam pasal 3.

Berikut kutipan bunyi lengkap pasal dimaksud.
Pasal 2
Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atas asas kekeluargaan.

Pasal 3
Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perkeonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan Undang-Undang Dasar 1945.

Fungsi dan Tugas Koperasi

A. Fungsi Koperasi / Koprasi
1. Sebagai urat nadi kegiatan perekonomian indonesia
2. Sebagai upaya mendemokrasikan sosial ekonomi indonesia
3. Untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara indonesia
4. Memperkokoh perekonomian rakyat indonesia dengan jalan pembinaan koperasi

B. Peran dan Tugas Koperasi / Koperasi
1. Meningkatkan tarah hidup sederhana masyarakat indonesia
2. Mengembangkan demokrasi ekonomi di indonesia
3. Mewujudkan pendapatan masyarakat yang adil dan merata dengan cara menyatukan, membina, dan mengembangkan setiap potensi yang ada

Macam dan Jenis Koperasi
Ada dua jenis koperasi yang cukup dikenal luas oleh masyarakat, yakni KUD dan KSP. KUD (Koperasi Unit Desa) tumbuh dan berkembang subur pada masa pemerintahan orde baru. Sedangkan KSP (Koperasi Simpan Pinjam) tumbuh dan berkembang dalam era globalisasi saat ini. KUD dan KSP hanyalah contoh dari sekian jenis koperasi.

Koperasi Berdasarkan Jenis Usahanya
Secara umum, berdasar jenis usaha, koperasi terdiri atas Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Serba Usaha (KSU), Koperasi Konsumsi, dan Koperasi Produksi.

a. Koperasi Simpan Pinjam (KSP)

KSP adalah koperasi yang memiliki usaha tunggal yaitu menampung simpanan anggota dan melayani peminjaman. Anggota yang menabung (menyimpan) akan mendapatkan imbalan jasa dan bagi peminjam dikenakan jasa. Besarnya jasa bagi penabung dan peminjam ditentukan melalui rapat anggota. Dari sinilah, kegiatan usaha koperasi dapat dikatakan “dari, oleh, dan untuk anggota.”

b. Koperasi Serba Usaha (KSU)
KSU adalah koperasi yang bidang usahanya bermacam-macam. Misalnya, unit usaha simpan pinjam, unit pertokoan untuk melayani kebutuhan sehari-hari anggota juga masyarakat, unit produksi, unit wartel.

c. Koperasi Konsumsi
Koperasi konsumsi adalah koperasi yang bidang usahanya menyediakan kebutuhan sehari-hari anggota. Kebutuhan yang dimaksud misalnya kebutuhan bahan makanan, pakaian, perabot rumah tangga.

d. Koperasi Produksi
Koperasi produksi adalah koperasi yang bidang usahanya membuat barang (memproduksi) dan menjual secara bersama-sama. Anggota koperasi ini pada umumnya sudah memiliki usaha dan melalui koperasi para anggota mendapatkan bantuan modal dan pemasaran.

Koperasi Berdasarkan Keanggotaannya
a. Koperasi Unit Desa (KUD)
Koperasi Unit Desa adalah koperasi yang beranggotakan masyarakat pedesaan.. Koperasi ini melakukan kegiatan usaha ekonomi pedesaan, terutama pertanian. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan KUD antara lain menyediakan pupuk, obat pemberantas hama tanaman, benih, alat pertanian, dan memberi penyuluhan teknis pertanian.

b. Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI)
Koperasi ini beranggotakan para pegawai negeri. Sebelum KPRI, koperasi ini bernama Koperasi Pegawai Negeri (KPN). KPRI bertujuan terutama meningkatkan kesejateraan para pegawai negeri (anggota). KPRI dapat didirikan di lingkup departemen atau instansi.

c. Koperasi Sekolah
Koperasi Sekolah meiliki anggota dari warga sekolah, yaitu guru, karyawan, dan siswa. Koperasi sekolah memiliki kegiatan usaha menyediakan kebutuhan warga sekolah, seperti buku pelajaran, alat tulis, makanan, dan lain-lain. Keberadaan koperasi sekolah bukan semata-mata sebagai kegiatan ekonomi, melainkan sebagai media pendidikan bagi siswa antara lain berorganisasi, kepemimpinan, tanggung jawab, dan kejujuran.


PEMBAHASAN

Pengertian Koperasi
Bagi Masyarakat Indonesia, Koperasi sudah tidak asing lagi, karena kita sudah merasakan jasa Koperasi dalam rangka keluar dari kesulitan hutang lintah darat. Secara harfiah Koperasi yang berasal dari bahasa Inggris Coperation terdiri dari dua suku kata Co yang berarti bersama, Operation = bekerja. Jadi koperasi berarti bekerja sama, sehingga setiap bentuk kerja sama dapat disebut koperasi.

Pengertian pengertian pokok tentang Koperasi :
Merupakan perkumpulan orang orang termasuk badan hukum yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama. Menggabungkan diri secara sukarela menjadi anggota dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai pencerminan demokrasi dalam ekonomi. Kerugian dan keuntungan ditanggung dan dinikmati bersama secara adil, pengawasan dilakukan oleh anggota, mempunyai sifat saling tolong menolong, membayar sejumlah uang sebagai simpanan pokok dan simpanan wajib sebagai syarat menjadi anggota. Sebetulnya suatu definisi itu meskipun banyak persamaannya, tetapi orang banyak yang memberi tekanan pada salah satu unsurnya. Hal ini tergantung pada perbedaan segi pandangan palsafah hidup orang yang mengemukakan tentang Koperasi, sebagai pelengkap dari pengertian koperasi menurut UU No. 12/1967 (undang undang pertama mengenai Koperasi Indonesia), diantaranya :

Ø Dr.C.C. Taylor
Beliau adalah seorang ahli ilmu Sosiologi, dapat diperkirakan tinjauan beliau adalah tinjauan yang menganggap bahwa Koperasi adalah konsep sosiologi. Menurutnya koperasi ada dua ide dasar yang bersifat sosiologi yang penting dalam pengertian kerja sama. Pada dasarnya orang lebih menyukai hubungan dengan orang lain secara langsung. Hubungan paguyuban lebih disukai daripada hubungan yang bersifat pribadi. Manusia (orang) lebih menyukai hidup bersama yang salig menguntungkan dan damai daripada persaingan. Sesuai dengan pandangan Taylor tersebut Koperasi dianggap lebih bersifat perkumpulan orang daripada perkumpulan modal, selain dari sudut pandang ETIS/ RELIGIOUS dan sudut pandang EKONOMIS.

Ø Intenational Labour Office (ILO)
Menurut ILO definisi koperasi adalah sebagai berikut : Cooperation is an association of person, usually of limited means, who have voluntaily joined together to achieve a common economic and through the formation of a democratically controlled businnes organization, making equitable contribution of the capital required and eccepting a fair share of the risk and benefits of the undertaking.

Definisi di atas terdiri dari unsur unsur berikut :
  1. Kumpulan orang orang
  2. Bersifat sukarela
  3. Mempunyai tujuan ekonomi bersama
  4. Organisasi usaha yang dikendalikan secara demokratis
  5. Kontribusi modal yang adil
Menanggung kerugian bersama dan menerima keuntungan secara adil.

Ø Margaret Digby
Menulis tentang “ The World Cooperative Movement “ mengatakan bahwa koperasi adalah kerjasama dan siap untuk menolong, adalah suatu usaha swasta tetapi ada perbedaan dengan badan usaha swasta lain dalam hal cara untuk mencapai tujuannya dan penggunaan alatnya.

Ø Dr. C.R Fay
Suatu perserikatan dengan tujuan berusaha bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangan tidak memikirkan diri sendiri sedemikian rupa. Sehingga masing masing sanggup menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding dengan tingkat hubungan mereka dengan perserikatan itu.

Ø Dr. G. Mladenata

Didalam bukunya “ Histoire des Doctrines Cooperative “ mengemukakan bahwa koperasi terdiri atas produsen produsen kecil yang tergabung secara sukarela untuk mencapai tujuan bersama ,dengan saling bertukar jasa secara kolektif dan menanggung resiko bersama dengan mengerjakan sumber sumber yang disumbangkan oleh anggota.

Ø H.E. Erdman
Bukunya “ Passing Monopoly as an aim of Cooperative” mengemukakan definisi sebagai berikut; koperasi melayani anggota, yang macam pelayanannya sesuai dengan macam koperasi rapat anggota memutuskan kebijakan dasar juga mengangkat dan memberhentikan pengurus, pengurus bertanggung jawab dalam menjalankan usaha dan dapat mengangkat karyawan untuk melaksanakan kebijaksanaan yang diterima dari rapat anggota. Tiap anggota mempunyai hak satu suara dalam rapat anggota tahunan. Partisipasi anggota lebih diutamakan daripada modal yang dimasukan. Anggota membayar simpanan pokok, wajib dan sukarela. Koperasi juga dimungkinkan meminjam modal dari luar. Koperasi membayar bunga pinjaman sesuai dengan batas yang berlaku yaitu sesuai dengan tingginya yang berlaku di masyarakat. SHU ( Sisa Hasil Usaha ) dibayar pada anggota yang besarnya sesuai dengan jasa anggota. Dalam hal mengalami kegagalan, anggota hanya bertanggung jawab sebesar simpananya di koperasi

Ø Frank Robotka
Bukunya yang berjudul “ A Theory of Cooperative “ menyakan bahwa penulis penulis Amerika serikat umumnya menerima ide ide tentang koperasi sebagai berikut: koperasi adalah suatu bentuk badan usaha yang anggotanya merupakan langganannya. Koperasi diorganisasikan , diawasi dan dimiliki oleh para anggotanya yang bekerja untuk kemanfaatan mereka sendiri praktek usahanya sesuai dengan prinsip-prinsip Rochdale. Koperasi adalah suatu kebalikan dari persaingan yaitu bahwa anggota lebih bersifat kerja sama daripada bersaing diantara mereka. Koperasi bukan perkumpulan modal dan tidak mengejar keuntungan, lain dengan badan usaha bukan koperasi yang mengutamakan modal dan berusaha mendapatkan keuntungan. Keanggotaan koperasi berdasarkan atas perseorangan bukan atas dasar modal.

Ø Dr. Muhammad Hatta
Dalam bukunya “ The Movement in Indonesia” beliau mengemukakan bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarka tolong menolong. Mereka didorong oleh keinginan memberi jasa pada kawan “ seorang buat semua dan semua buat seorang” inilah yang dinamakan Auto Aktivitas Golongan, terdiri dari : Solidaritas, individualitas, menolong diri sendiri, jujur.

Ø UU No. 25 Tahun 1992 (Perkoperasian Indonesia)
Koperasi adalah Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang beradasarkan atas dasar asas kekeluargaan. Itulah beberapa pengertian mengenai Koperasi, yang sudah menjelaskan pengertian pengertian koperasi dari berbagai sisi. Namun jika hanya sebatas pengertian tidak akan cukup untuk lebih mengenal koperasi, maka akan dicoba menjelaskan selanjutnya mengenai hal hal apa saja yang ada di dalam manajemen koperasi.

APA KOPERASI ITU ?
Koperasi adalah Asosiasi orang orang yang bergabung dan melakukan usaha bersama atas dasar prinsip prinsip koperasi, sehingga mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan biaya rendah melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis oleh anggotanya. Asosiasi berbeda dengan kelompok, asosiasi terdiri dari orang orang yang memiliki kepentingan yang sama, lazimnya yang menonjol adalah kepentingan ekonomi. Tujuan koperasi yaitu menjadikan kondisi sosial dan ekonomi anggotanya lebih baik dibanding sebelum bergabung dengan koperasi.

APA PRINSIP KOPERASI ?

(UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian indonesia)
Keanggotaanya sukarela dan terbuka. Yang keanggotaanya bersifat sukarela terbuka bagi semua orang yang bersedia mengunakan jasa jasanya, dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan tanpa membedakan gender. Pengawasan oleh anggota secara Demokratis. Anggota yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusan. Laki laki dan perempuan yang dipilih sebagai pengurus atau pengawas bertanggung jawab kepada rapat anggota. Dalam koperasi primer, anggota memiliki hak suara yang sama (satu anggota satu suara). Pada tingkatan lain koperasi juga dikelola secara demokratis. Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi. Anggota menyetorkan modal mereka secara adil dan melakukan pengawasan secara demokratis. Sebagian dari modal tersebut adalah milik bersama. Bila ada balas jasa terhadap modal diberikan secara terbatas. Anggota mengalokasikan SHU untuk beberapa atau semua tujuan seperti di bawah ini :

© Mengembangkan koperasi. Caranya dengan membentuk dana cadangan, yang sebagian dari dana itu tidak dapat dibagikan.
© Dibagikan kepada anggota. Caranya seimbang berdasarkan trnsaksi mereka dengan koperasi.
© Mendukung kegiatan lainnya yang disepakati dalam rapat anggota.
© Otonomi dan kemandirian.

Koperasi adalah organisasi yang otonom dan mandiri yang di awasi oleh anggotanya. Dalam setiap perjanjian dengan pihak luar ataupun dalam, syaratnya harus tetap menjamin adanya upaya pengawasan demokratis dari anggota dan tetap mempertahankan otonomi koperasi. Pendidikan, Pelatihan, dan Informasi. Tujuanya adalah agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan lebih efektif bagi perkembangan koperasi. Koperasi memberikan informasi kepada masyarakat umum, mengenai hakekat dan manfaat berkoperasi. Kerja sama antar koperasi. Dengan bekerja sama secara lokal, nasional, regional dan internasional maka gerakan koperasi dapat melayani anggotanya dengan efektif serat dapat memperkuat gerakan koperasi. Kepedulian terhadap masyarakat. Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan melalui kebikjakan yang diputuskan oleh rapat anggota.

APA SAJA JENIS KOPERASI ?

Jenis koperasi didasrkan pada kesamaan usaha atau kepentingan ekonomi anggotanya. Dasar untuk menentukan jenis koperasi adalah kesamaan aktivitas, kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya. Jenisnya adalah :

· Koperasi Produsen.
Koperasi produsen beranggotakan orang orang yang melakukan kegiatan produksi (produsen). Tujuannya adalah memberikan keuntungan yang sebesar besarnya bagi anggotanya dengan cara menekan biaya produksi serendah rendahnya dan menjual produk dengan harga setinggi tingginya. Untuk itu, pelayanan koperasi yang dapat digunakan oleh anggota adalah Pengadaan bahan baku dan Pemasaran produk anggotanya.

· Koperasi Konsumen
Koperasi konsumen beranggotakan orang orang yang melakukan kegiatan konsumsi. Tujuannya adalah memberikan keuntungan yang sebesar besarnya bagi anggotanya dengan cara mengadakan barang atau jasa yang murah, berkualitas, dan mudah didapat. Contoh :

- koperasi simpan pinjam
- koperasi serba usaha ( konsumen)

APA KEWAJIBAN DAN HAK ANGGOTA ?
Anggota koperasimemiliki peran ganda, sebagai pemilik sekaligus pengguna pelayanan koperasi. Sebagai pemilik, anggota berpartisipasi dalam memodali, mengambil keputusan, mengawasi, dan menanggung resiko. Sebagai pengguna, anggota berpartisipasi dalam memanfaatkan pelayanan koperasi. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dan bila dilanggar, maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan hak adalah sesuatu yang seharusnya diperoleh. Bila hak ini tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan dapat menuntut. Tetapi bila hak tersebut tidak digunakan, maka tidak ada sanksi untuk itu.

Anggota koperasi berkewajiban :
  1. Mematuhi AD dan ART serta keputusan yang telah ditetapkan dalam Rapat Anggota.
  2. Menanda tangani perjanjian kontrak kebutuhan. Sehingga, anggota bemar benar sebagi pasar tetap dan potensial bagi koperasi.
  3. Menjadi pelangan tetap,
  4. Memodali koperasi.
  5. Mengembangkan dan memelihara kebersamaan atas dasar kekeluargaan
  6. Menjaga rahasia perusahaan dan organisasi koperasi kepada pihak luar
  7. Menanggung kerugian yang diderita koperasi, proporsional dengan modal yang disetor.
Anggota koperasi berhak :

1. Menghadiri, menyatakan pendapat dan memberikan suara dalam rapat anggota.
2. Memilih pengurus dan pengawas.
3. Dipilih sebagai pengurus atau pengawas.
4. Meminta diadakan rapat anggota.
5. Mengemukakan pendapat kepada pengurus di luar rapat anggota, baik diminta atau tidak.
6. Memanfaatkan pelayanan koerasi dan mendapat pelayanan yang samadengan anggota lain.
7. Mendapat keterangan mengenai perkembangan koperasi.
8. Menyetujui atau mengubah AD / ART sera ketetapan lainya.

Struktur Organisasi Koperasi :
1. Rapat Anggota
2. Pengawas
3. Pengurus
4. Manajer
5. Komite 
 
B. PERPAJAKAN
A. Latar belakang masalah
Seiring dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan tax ratio, sejak tahun 2001 pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk  ekstensifikasi dibidang perpajakan. Selain melalui kegiatan  canvassing, upaya eksensifikasi juga dilakukan DJP dengan cara "memaksa" Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memiliki NPWP secara system, misalnya kewajiban memiliki NPWP sebagai salah satu syarat  dalam permohonan kredit perbankan bagi wajib pajak orang pribadi.
 
Dalam siaran pers DJP tanggal 25 Agustus 2005 ditegaskan bahwa  berdasarkan informasi dari Pusat Data Pajak dan sistem komputerisasi pajak, DJP akan memberikan NPWP (secara jabatan) terhadap:
  1. Pemilik tanah dan bangunan mewah;
  2. Pemilik mobil mewah;
  3. Pemilik kapal pesiar atau yacht;
  4. Pemegang saham, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
  5. Orang asing;
  6. Pegawai tetap yang berpenghasilan di atas PTKP; dan lain-
  7. lain, yang belum ber-NPWP.
C. Tujuan penulisan
Makalah yang berjudul perpajakan ini bertujuan membahas tentang beberapa hal diantaranya sebagai berikut:
  1. Apa itu pajak?
  2. Apa saja jenis-jenis pembayaran pajak?
  3. Mengapa adanya pembayaran pajak?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian pajak dan landasan pajak
Pajak adalah iyuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

Pengetian pajak menurut bebetapa ahli :

Prof Dr Adriani
pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajibpajak membayarnya menurut peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung.

Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sector pemerintah berdasarkan undang-undang)(dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.
Lima unsur pokok dalam defenisi pajak
  1. Iuran / pungutan
  2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
  3. Pajak dapat dipaksakan
  4. Tidak menerima kontra prestasi
  5. Untuk membiayai pengeluaran umun pemerintah
Karakteristik pokok dari pajak adalah: pemunngutanya harus berdasarkan undang-undang. diperlukan perumusan macam pajak dan berat ringannya tariff pajak itu, untuk itulah masyarakat ikut didalam menetapkan rumusannya.

Ketentuan mengenai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk wajib pajak pertahun PTKP adalah Rp. 2.880.000; untuk istri dan suami Rp. 1.440.000; tambahan untu8k seorang istri Rp. 2.880.000; diberikan sapabila ada penghasilan istri yang digabungkan dengan penghasilan suami dalam hal istri Rp. 1.440.000;tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah ,misalnya (ayah,ibu atau anak kandung atau semenda) dalam garis keturunan lurus sertaanak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak tiga orang untuk ssetiap keluarga.

Enam undang-undang hasil tax reform tahun 2000 UU RI NO 16 tentang prubahan kedua atas uu no. 6 thn 1983 yaitu tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan UU RI NO 17 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas uu no 7 thn 1983 tentang pajak penghasilan UU RI NO 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas uu no 8 thn 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah UU RI NO 19 tahun 2000 tentang perubahan atas uu no 19 thn 1997 tentang penghasilan pajak dengan surat paksa UU RI NO 20 tahun 2000 tentang perubahan uu no 21 thn 1997 tentang peralihan hak atas tanah dan bangunan . kelima uu ini diundangkan pada tanggal 2 agustus 2000 dan berlaku sejak 1 januari 2001 UU RI NO 34 tahun 2000 tentangperubahan atas undang-undang no 18 thn 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Undang-undng ini diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000 dan berlaku saat diundangkan.

Satu undang-undang hasil tax reform tahun 1985  UU RI NO 17tahun 1985 tentang bea dan material  Satu undang undang hasil tax reform tahun 1994  UU RI NO 17 thun 1994 tentang perubahan atas uu no 12 thn 1985 tentang pajak bumi dan bangunan Satu undang-undang hasil tax reform thn 2002 UU RI NO 14 tahun 2002 tentang pengadiloan pajak sebagai penhganti uu no 17 thn 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak .

Pasal 79 mencantumkan sunber pendapatan daerah terdiri dari:
PAD (pendapatan asli daerah )
· Hasil pajak daerah
· Hasil retribusi daerah
· Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
· Dan lain-lain penghasilan daerah yang sah  dana perimbangan pinjaman daerah

Pasal 80 ayat 1
Dana perimbangan sebagaimana dimaksut dalam pasal 79 terdiri atas bagian daerah dari penerimaan PBB, biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan dan penerimaan atas ada dana alokasi umum dana alokasi khusus.
Ayat 2
Bagian dari PBB sector pedesaan perkotaan serta perkebunan serta biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterima langsung oleh daeerah penghasil.

Ayat3
Bagian daerah dari sector pertambangan dan kehutanan dan penerimaan SDA sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterima oleh daerah penghasil dan daerah linnya untuk pemerataan sesuai dengan undang-undang

Ayat 4
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksu pada ayat 1,2 dan 3 ditetapkan undang undang.  Berdasarkan UU NO 34 THN 2000 tentang perubahan atas uu no 18b thn 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah maka jenis pajak untuk profinsi kabupaten, kota adalah sebagai berikut:

1) Jenis pajak propinsi terdiri dari:
  • Pajak kendraan bermotor dengan kendraan atas air, bbn kendraan bermotor dan atas air
  • Pajak bahan bakar kendraan bermotor
  • Pajak pengeambilan dan pemanfaatan air bawh tanah dan permukaan
2) Jenis pajak kabupaten kota
  • Pajak hotel, restoran, hiburan , pajak reklame, pajak penerangan jalan , pajak pengambilan bahan galian golongan c , pajak parkir
Untuk lebih mendalami mata kuliah perpajakan secara garis besar kita harus mengetahui:
  • Siapa yang dikenakan pajak( subjek pajak)
  • Apa yang dikenakan pajak ( objek pajak)
  • Berapa pajaknya (tariff pajak)
  • Bagaimana melaksanakan hukum pajak?
Cara melaksanakan hukum pajak diantaranya sebagai barikut:
Pajak dapat dipaksakan Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus untuk memaksa wp untuk mematuhi dan melaksanakan kewajiban pajaknya. Sebab undang undang menurut sanksi-sanksi pidana fiscal (pajak) sanksi administrative yang kususnya diatur oleh undang-undang no 19 tahun 2000 termasuk wewenang dari perpajakan untuk mengadsakan penyitaan terhadap harta bergerak/ tetap wajib pajak.

Dalam hokum pajak Indonesia dikenal lembaga sandera atau girling yaitu wajib pajak yang pada dasarnya mampu membayar pajak namun selalu menghindari pembayaran pajak dengan berbagai dalih, maka fiskus dapat menyandera wp dengan memasukkannya kedalam penjara.

Pajak tidak menerima kontra prestasi
Ciri kas pajak dibandiong dengan jenis pungutan lainnya adalah wajib pajak (tax payer ) tidak menerima jasa timbal yang dapat ditunjuk secara langsung dari pemerintah namun perlu dipahami bahwa sebenarnya subjek pajak ada menerima jasa timbal tetapi diterima secara kolektif bersama dengan masyarakat lainnya.

Untuk membiayai biaya umum pemerintah
Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk biaya khusus . dipandang dari segi hokum maka pajak akan terutang apabila memenuhi syarat subjektif dan syaratobjektif .

Syarat objektif : ,yang berhubungan dengan objek pajak misalnmya adanya penghasilan atau penyeerahan barang kena pajak . syarat subjektif adlah syarat yang berhubungan dengan subjek pajak , apakah orang pribadi atau badan.

Struktur pajak di Indonesia berdasarkan urian diatas adalah sebagai berikut:
  1. pajak penghasilan (PPh)
  2. pajak pertambahan nilaio barang dan jasa dan penjualan atas baeang mewah
  3. pajak bumi dan bangunan
  4. pajak daerah dan retribbusi daerah
  5. bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
  6. bea materai
Untuk mewujudkan pajak-pajak tersebut menjadi kenyataan, terdapat hokum pajak formal yaitu UU RI NO 16 thn 2000 tentang perubahan kedua dari uu no 6 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.  Bagi wajib pajak yang menghindari pajak uu no 19 thn 2000 tentang penagihan pajak dan surat paksa.  Bagi wajib pajak yang banding berdasarkan uu no 17 thn 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak BPSP tyelah disebutkan diatas telah diubah dan diganti dengan uu no 14 thn 2002 tentang penaagihan pajak

B. Fungsi pajak
1. Fungsi budgetair

Fungsi budgeteir merupakan fungsi utama pajak dan fungsi fiscal yaitu suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perepajakan yang berlaku “segala pajak untuk keperkuan negara berdasarkan undang-undang.

Yang dimaksud dengan memasukkan kas secara optimal adalah sebagi berikut:
  1. Jangan sampai ada wajib pajak/subjek pajak yang tidak membayar kewajiban pajaknya.
  2. Jangan sampai wajib pajak tidak melaporkan objek pajak kepada fiskus
  3. Jangan sampai ada objek pajak dai pengamatan dan perhitungan fiskkus yang terlepas
Dengan demikian maka optimalisasi pemasukan dana ke kas negara tercipta atas usaha wajib pajak dan fiskus.
  1. System pemungutan pajak suatu negara menganut dua system :
  2. Self assessment system; menghitung pajak sendiri
  3. official assessment system ;menghitung pajak adalah pihak fiscus.
Factor yang turut mempengaruhi optimalisasi pemasukan dana kekas negara adalah:
1) filsafat negara
Negara yang berideologi yang berorientasi kepada kesejahtraan rakyat banyak akan mendapat dukungan dari rakyatnya dalam hal pembayaran pajak. Untuk itu rakyat diikut sertakan dalam menentukanberat rinngannya pajak melalui penetapan undang-undang perpajakan oleh DPR sebaliknya dinegara yang berorientasi kepada kepenmtingan penguasa sangat sulit untuk mengharapkan partisipasi masyarakat untuk kewajiban pajaknya.

Kejelasan undang-undang dan peraturan perpajakan Yang jelas mudah dan sederhana serta pasti akan menimbulkan penafsiran yang baik dipihak fiscus maupun dipihak wajib pajak

Tingkat pendidikan penduduk / wajib pajak
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendidikan wajib pajak maka makin mudah bagi mereka untuk memahami peraturan perpajakan termasuk memahami sanksi administrasi dan sanksi pidana fiscal.

Kualitas dan kuantitas petugas pajak setempat

Sangat menentukan efektifitas uu dan peraturan perpajakan . fiscus yang professional akan akan berusaha secara konsisten untuk menggali objek pajak yang menurut ketentuan pajak harus dikenakan pajak.

Strategi yang diterapkan organisasi yang mengadministrasikan pajak di Indonesia, unit-unit untuk ini adalah:
· Kantor pelayanan pajak
· kantor pemeriksaan dan penyelidikan pajak yanmg dilakukan dirjen pajak
Perwujudan fungsi budgetair dalam kehidupan kenegaraan dapat terlihat dalam APBN yang setiap tyahun disahkan dengan undang-undang. Penerimaan negara selalu meningkat dari tahun ketahun khususnya setelah reformasi uu perpajakan thn 1983/1984.

Fungsi regulerend
Atau fungsi mengatur dan sebagainya juga fungsi pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu , dan sebagainya sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijakan, mis : pajak atas minuman keras ditinggikan untuk mengurangi konsumsi fasilitas perpajakan sehingga perwujudan dari pajak regulerend yang terdapat dalam UU No I tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Contoh:
a) Bea materai modal
b) Bea masuk dan pajak penjualan
c) Bea balik nama
d) Pajak perseroan
e) Pajak devident

C. Yusdifikasi Pajak Dan Prinsip Pemungutan Pajak
Dalam hal ini akan dikemukakan asas-asas pemungutan pajak dan alas an-alasan yang menjdi dasar pembenaran pemungutan pajak oleh fiskus negara, sehingga fiskus negara merasa punya wewenang untuk memungut pajak dari penduduknya.
Teori asas pemungutan pajak:
a) Teori ansuransi
Negara berhak memungut pajak dari penduduk karena menurut teori ini negara melindungi semua rakyat dan rakyat membayar premi pada negara.
b) Teori kepentingan
Bahwa negara berhak memungut pajak karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan pada negara, makin besar kepentingan penduduk kepada negara maka makin besar pula pajak yang harus dibayarnya kepada negara.
c) Teori bakti
Mengajarkan bahwa pwnduduk adalah bagian dari suatu negara oleh karena itu penduduk terikat pada negara dan wajib membayar pajak pada negara dalam arti berbakti pada negara.
d) Teori gaya pikul
Teori ini megusulkan supaya didalam hal pemungutan pajak pemerintah memperhatikan gaya pikul wajib pajak.
e) Teori gaya beli
Menurut teori ini yustifikasi pemungutan pajak terletak pada akibat pemungutan pajak. Misalnya tersedianya dana yang cukup untuk mrmbiayai pengeluaran umum negara, karena akibat baik dari perhatian negara pada masyarakat maka pemuingutan pajak adalah juga baik.
f) Teori pembangunan
Untuk Indonesia yustifikasi pemungutan pajak yang paling tepat adalah pembangunan dalam arti masyarakat yang adil dan makmur
Disamping itu terdapat juga asas-asas pemungutan pejak seperti:
Asas yuridis yang mengemukakan supaya pemungutan pajak didasarkan pada undang-undang
  1. Asas ekonomis yang menekankan supaya pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi dan perekonomian rakyat
  2. Asas finansial menekankan supaya pengeluaran-pengeluaran untuk memungut pajak harus lebih rendah dari jumlah pajak yang dipungut.
Prisip-prinsip pemungutan pajak:
  1. Menurut Era Saligman ada empat Prisip pemungutan pajak:
  2. Prisip fiscal
  3. Prinsip Administrative
  4. Prinsip ekonomi
  5. Prinsip Etika
D. Hukum Pajak
Adalah: Keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerinth untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Sehingga hukum pajak tersebut merupakan hukum publik yang mengatur hubungan negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum pajak dibedakan atas:
Hukum pajak material
Yaitu: memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa yang dikenakan pajak dan siapa-siapa yang dikecualikan dengan pajak dan berapa harus dibayar.

Hukum pajak formal
Yaitu: memuat ketentuan-ketentuan bagaiman mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan.  Kutipan beberapa definisi Pajak dari para pakar. Prof. Erwin R.A. Seligman dalam buku Esay in Taxation yang diterbitkan di Amerika menyatakan: “Tax is compulsory Contribution from the person, to Government to depray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conperred” Secara garis besar terlihat adanya kontribusi seseorang yang ditujukan kepada Negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan khusus pada seseorang, bagaimanapun pajak itu ditujukan manfaatnya kepada masyarakat.
Mr. Dr. N.J. Feldmann dalam bukunya De over heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan): Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
Menurut Nurmatu (2003) Pajak memiliki dua fungsi yaitu fungsi penerimaan (budgeter) dan fungsi mengatur (regular). Fungsi budgeter merupakan fungsi pajak sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh: dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. Sedangkan fungsi regular merupakan fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan social. Sebagai contoh yaitu dikenakan pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan.

Ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh masyarakat
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
5. Pajak dapat pula pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
6. Retribusi
7. Sumbangan

E. Perbedaan Pajak Dan Jenis Pungutan Lainnya Pebedaan Hukum Pajak Materiil Dan Hukum Pajak Formal
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan Wajib Pajak. Apabila memperhatikan materinya Hukum Pajak diedakan menjadi:
Hukum Pajak Materiil
Memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan , peristiwa hukum yang dikenakan pajak (objek-objek), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hokum antara pemerintah dan wajib pajak sebagai contoh : Undang-undang penghasilan
Hukum Pajak Formal
Memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hokum materiil menjadi kenyataan, hokum pajak formal ini memuat antara lain
  1. Tatacara penetapan utang pajak.
  2. Hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
  3. Kewajiban Wajib Pajak sebagai contoh menyelenggarakan pembukuan / pencatatan dan hak-hak wajob pajak mengajukan keberatan dan banding.
Contoh : Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.

F. Pembagian Pajak Menurut Golongan, Sifat, Dan Pemungutannya
Menurut Golongan
a. Pajak Langsung

Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Sebagai contoh Pajak Penghasilan.

b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang pembebannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebagai contoh Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Sifat

a. Pajak Subjektif
Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan

b. Pajak Objektif
Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: PPN dan PPn BM.

Menurut Pungutan
a. Pajak Pusat
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Contoh: Pajak reklame, dan pajak hiburan.

G. Perbedaan Antara Penghindaran Pajak (Tax Avoidance), Penyelendupan Pajak (Tax Evasion) Dan Penghematan Pajak (Tax Saving)

Suatu perencanaan pajak atau disebut juga sebagai perbuatan penghindaran pajak yang sukses, haruslah dibedakan secara jelas dengan perbuatan penyelundupan pajak. Pembahasan mengenai penghindaran pajak dan penyelundupan pajak telah banyak dilakukan dalam beberapa literature, namun hingga saat ini tidak ada satu pun yang memberikan indikasi dan rincian yang tegas tentang perbedaan dimaksud.

Semua ahli sependapat bahwa sesungguhnya antara penghindara pajak dan penyelundupan pajak terdapat perbedaan yang fundamental, akan tetapi kemudian ternyata bahwa perbedaan tersebut menjadi kabur, baik secara teori maupun aplikasinya. Secara konseptual. Justru dalam menentukan perbedaan antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak. Kesulitanya terletak pada penentuan perbedaanya, akan tetapi berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisahnya antar melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).

Penghindaran pajak yang juga disebut tax planning, adalah proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekwensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki. Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang benar-benar legal. Seperti halnya suatu pengadilan yang tidak enghukum seseorang karena perbuatannya tidak melanggar hokum atau tidak termasuk dalam kategori pelanggaran atau kejahatan, begitu pula mengenai pajak yang tidak dipajaki, apabila tidak ada tindakan tindakan/transaksi yang dapat dipajaki. Dalam hal ini sama sekali tidak ada suatu pelanggaran hokum yang dilakukan dan malahan sebaliknya diperoleh penghematan (tax saving) dengan cara mengatur tindakan yang menghindarkan aplikasi pengenaan pajak melalui pengendalian fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga terhindar dari pengenaan pajak yang lebih besar atau sama sekali tidak kena pajak.

Walaupun pada dasarnya antar penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama, yaitu mengurangi beban pajak, akan tetapi cara penyelundupan pajak jelas-jelas merupakan illegal dalam usaha mengurangi beban pajak tersebut. Beberapa definisi tentang penghindaran pajak dan penyelundupan pajak sebagaimana dibawah ini:
Menurut Harry Graham Balter

Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak apakah berhasil atau tidak untuk mengurangi atau sama sekali menghapus hutang pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan, sedangkan Penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Ernest R mortenson

Penyelundupan pajak adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajak untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak, sedang  Penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan suatu peristiwa sedemikian rupa untuk meminimkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkan. Oleh karena itu penghindaran pajak tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, meminimkan atau meringankan beban pajak dengan cara yang memungkinkan oleh perundang-undangan pajak

Menurut Robert H. Anderson
Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak, sedangkan  Penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama perencanaan pajak.

Selanjutnya dikemukakan bahwa suatu hal yang wajar apabila seseorang wajib pajak membayar pajaknya tidak melebihi apa yang menjadi kewajibannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dengan mengingat asumsi yang dbuat pada waktu merencankan undang-undang pajak tersebut bahwa wajib pajak akan melaporkan semua penghasilannya dengan benar dan mengklaim semua potongan-potongan yang diperkenankan oleh undang-undang perpajakan, sehingga secara moral pun tianggap tidak salah, apabila pengurangan beban pajak melalui penghindaran pajak tersebut dianggap masih dalam batas ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Read More

Jurnal Filsafat Pendidikan | Problem Pendidikan dan Gagasan Menuju Paradigma Baru

Jurnal Filsafat Pendidikan | Problem Pendidikan dan Gagasan Menuju Paradigma Baru
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INDONESIA DAN GAGASAN 
MENUJU PARADIGMA BARU 

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan mendeskripsikan problematika pendidikan Indonesia, paradigma lama pendidikan, dan gagasan untuk menuju paradigma baru. Masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi sistem pendidikan. Perkembangan pendidikan cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini masih dirasakan hingga sekarang. Sebagai muaranya adalah rendahnya sumber daya manusia untuk bersaing dalam era global. Oleh sebab itu, gagasan untuk menuju paradigma baru pendidikan sangat diperlukan. Pendidikan Indonesia hendaknya berkembang dari budaya lokal, nasional, universal, dan global. Perkembangan pendidikan tersebut diharapkan dapat menghasilkan pendidikan yang berkualitas baik di bidang demokratisasi, popularisasi, sistematisasi, proliferasi di bidang delivery, politisasi, maupun di bidang pemberdayaan pendidikan berbasis masyarakat.

Kata-kata kunci: pendidikan, problematika, paradigma baru

ABSTRACT
The purposes of this article were to describe the Indonesian education problems, the old education paradigm, and the notion to the new paradigm direction. Holand and Jepan colonization period in Indonesian were damaging to the education system. The education development was not conformed to the need of the society. The impact was still occured until the recent time. As an estuary of the impact, the human resources quality was still low to compete in the global era. Show that, the notion to the new education paradigm was very important. The Indonesian Education should be developed from the local, national, universal, and global culturals. The education develompment can be expected to give good education outcome in education democratization, popularisztion, systematization, delivery proliferation, politization, as well as in empowering of community based education.
Key words: education, problems, new paradigm

1. Pendahuluan
Kekuasaan-kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang, sejak berakhirnya Perang Dunia II, masih meninggalkan tapak-tapak pengaruhnya di tanah air. Sistem kolonial Belanda telah mencangkokkan sistem pendidikan negaranya sendiri di daerah nusantara. Juga kekuasaan politik dan ekonomi Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara maju lainnya yang menguasai sebagian besar wilayah dunia, sekarang ini memberikan stempel pengaruhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda dan Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tersebut adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya menentukan kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (2) sulitnya mengubah mental pemimpin Indonesia dari kebiasaan ketergantungan, sehingga mereka cenderung berorientasi pada saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yang belum tentu cocok dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (3) sulitnya membangkitkan kreativitas masyarakat dalam pendidikan sebagai akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan dan budaya kolonial dari masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia merupakan pencangkokan lembaga pendidikan negara-negara yang sudah maju, sehingga dalam praktek sehari-hari, hasil pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang mengembangkan unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang menerima pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yang akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu dan pengalaman eksistensial.

Kemajuan masyarakat industri Eropa adalah hasil dari akumulasi empat gugus institusi, yang menurut pandangan Giddens (Dimyati, 2000) sebagai hubungan komplementer dari (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (3) pengawasan, dan (4) kekuatan militer. Rembesan model institusi ini di Indonesia menjelma dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak didik, tidak adanya komunikasi interaktif antara guru dan siswa, murid dituntut menghafal secara mekanis, guru cenderung bercerita tentang pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-insan yang jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan pada pendidikan negara-negara maju memberikan dampak kurang menguntungkan masyarakat Indonesian dan masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia hingga sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan dan persatuan bangsa, untuk menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu ialah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal yang beragam, dan corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi dan modernisasi pendidikan dengan penekanan pada pemberian materi pengajaran yang lebih banyak bersifat urban dan universal dan kurang memperhatikan situasi kondisi lokal, akan meningkatkan harapan ekonomis dan ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional untuk mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti di negara-negara kaya dan maju, banyak mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak pada realitas bangsa sendiri, khususnya bagi masyarakat lapisan bawah. Ide-ide utopis tersebut ternyata menghambat pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yang bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi masyarakat dan sinkron dengan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-hasil pendidikan yang belum memenuhi harapan masyarakat tersebut, memberikan dorongan untuk sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi untuk memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini. 

2. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma lama, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57 tahun yang lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yang elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial dan militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yang populis yang banyak membuka kesempatan untuk seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan di awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yang dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan hasil dan layu sebelum berkembang.

Dalam perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yang menjadi prioritas utama, di samping sumber-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya alam, tetapi lemah dalam sumber informasi iptek, kelembagaan dan peraturan, sumber modal, dan sumber kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, muncul pula paradigma pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-program wajib belajar yang bermula diberlakukannya wajib belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai akibat paradigma tersebut adalah terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong oleh keinginan untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif dan berbagai peraturan yang menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya norma-norma EBTANAS, dan berbagai tes standar. Paradigma ini diarahkan untuk mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan supervisi, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah menghasilkan percepatan pencapaian target-target kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif dan kemampuan berpikir kritis anak didik dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis pada zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tersebut tampak dalam UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan untuk pengajaran. Kemudian, sebagai akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka paradigma proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan kegiatan-kegiatan untuk pemenuhan tenaga kerja industri. Namun, perluasan ruang lingkup pendidikan tersebut telah mengubah dimensi pendidikan dari tanggung jawab keluarga beralih pada kekuatan-kekuatan di luar lingkungan keluarga, formalistis, dan sistematis, serta sekadar untuk memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya berbagai jenis program pendidikan dan pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi sebagai akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti pada sejauh mana dunia pendidikan dan dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yang tidak berorientasi pada esensi praksis pendidikan akhirnya membawa dunia pendidikan semakin mengalami alienasi dari kebutuhan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yang terjadi adalah terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap sebagai state business non profit; dan pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand dari konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan pada tujuan hidup manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan untuk membentuk kehidupan bersama. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa dan refleksi kekuatan penguasa pada ide-ide politiknya. Sekolah merupakan sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik serta propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap paling bermanfaat oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian rakyat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa dan sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan pula prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan adalah (1) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (2) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih dalam mengahadapi era global yang melanda semua segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko pada keterbelakangan peradaban manusia Indonesia di mata dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya untuk menyelamatkan diri dari krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa bersama pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, meningkatkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban manusia ke arah yang lebih baik, dan bisa berkecimpung dalam percaturan global.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tersebut, di samping tetap berorientasi pada empat indikator yang dijadikan pijakan untuk mengevaluasi paradigma lama, juga berorientasi pada nilai-nilai orisinal yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tersebut dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

3. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yang mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan dengan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat membentuk wawasan pendidikan yang utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan dan filsafat. Filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat dan martabat manusia dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, sementara di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) masyarakat dan kebudayaannya, (3) keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan adalah untuk dapat hidup sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Orang belajar dari hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yang membangun pengetahuannya, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan adalah membina pribadi-pribadi yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yang kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa kini sebagai suatu upaya untuk merekonstruksi masyarakat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut seperti identitas bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal berdasarkan budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan global. Nilai-nilai budaya seperti itu adalah Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas dari Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk salah satu pendidikan luar sekolah merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap manusia. Proses sosialisasi akan dimulai dari keluarga, di mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.RI.No.2/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan sikap yang dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi keluarga, pola hubungan orang tua dengan anak dalam keluarga, komposisi keanggotaan dalam keluarga, keberadaan orang tua, dan perbedaan kelas sosial keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat, seperti kelompok keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok khusus yang datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi dari anak-anak lain yang hampir seusia, yang disebut kelompok sebaya. Kelompok sebaya merupakan agen sosialisasi yang mempunyai pengaruh kuat searah dengan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai lembaga sosial, kelompok sebaya tidak mempunyai struktur yang jelas dan tidak permanen. Tetapi kelompok sebaya dapat menciptakan solidaritas yang sangat kuat di antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang dapat disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya dapat memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan untuk lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, dan membuka horizon anak menjadi lebih luas.

Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya, adalah pengaruh pendidikan terhadap masyarakat. Penekanan pada sosialisasi, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak untuk hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui masyarakat. Pendidikan yang dilaksanakan pada umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub penekanan tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, harus didukung oleh sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga ia dapat berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi dari prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yang dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional kepada masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan permasalahan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan memberikan keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan harus bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi masyarakat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya tidak selalu terbaik dan juga tidak terburuk bagi masyarakat, namun gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika gagasan tersebut gagal menunjukkan keunggulannya, dalam artian akan terjadi konflik antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka harus dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan peran sikap ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangkan setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dikembangkan dan dilestarikan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan teknologi yang dipelajari dan dimiliki oleh semua anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas dapat berwujud (1) ide, gagasan, nilai; (2) prilaku manusia dalam masyarakat; (3) benda hasil karya manusia. Kebudayaan baik dalam wujud ide, prilaku, dan teknologi tersebut dapat dibentuk, dilestarikan, dan dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara untuk mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Ada tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam keluarga), nonformal (terjadi dalam masyarakat, dan formal (terjadi dalam lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah laku anak didik. Masyarakat memegang peranan dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat juga berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kondisi baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, norma-norma baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma tersebut merupakan transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial mempunyai peranan yang sangat penting, sebab pendidikan tidak hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan kepada generasi penerus, tetapi juga mentransformasikannya agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju pada pemahaman manusia, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. Terdapat tiga pandangan tentang hakikat manusia, yaitu strategi disposisional yang memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, dan strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada lingkungan, strategi fenomenologis memandang manusia sebagai makhluk aktif yang mampu bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan tentang hakikat manusia tersebut berdampak dalam pandangan tentang pendidikan.

Pemahaman peserta didik, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu memiliki bakat, kemampuan, minat, kekuatan, serta tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya dengan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi oleh kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan dalam situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik karena pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terjadi sebagai akibat faktor internal sebagai akibat kematangan dan proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi karena pengaruh lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, dan media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek harus segera diakomodasi oleh pendidikan, yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan iptek ke dalam isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi oleh cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring dengan kemajuan iptek pada umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tersebut menyebabkan tersedianya informasi empiris yang cepat dan tepat, dan pada gilirannya, diterjemahkan menjadi program, alat, dan/atau prosedur kerja yang akan bermuara pada kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi suatu lingkup kegiatan yang luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan dengan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu harus segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, dan atau kemajuan ilmu harus segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan tersebut.

4. Orientasi pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung pada orang lain. Namun, ia memiliki potensi yang hampir tanpa batas untuk dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan di Indonesia yang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani merupakan inti dari asas pertama dari tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada tanggal 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai. Kehidupan tertib dan damai hendaknya dicapai menurut dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa, yang didasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, di mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan dan mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas penting dalam pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yang memiliki makna baru dari ide lama, tetapi secara universal definisi yang dapat diterima adalah sulit. Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang (1) meliputi seluruh hidup setiap individu, (2) mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya, (3) tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri, (5) mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya dan memiliki makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan istilah “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar dan sitematis untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif; dan meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan, tetapi juga terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi peserta didik untuk dapat bersaing di era global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hidup (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yang sangat erat dengan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar merupakan kebutuhan yang mucul dari dalam diri sendiri sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta didik berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang dapat menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram. Strategi-strategi belajar tersebut dapat terlaksana apabila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yang memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu kepada deskripsi masyarakat Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai masyarakat yang menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju paradigma pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal dan universal. Nilai-nilai lokal dan universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan dan kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia untuk tetap survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi khas masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan dalam kerangka untuk menetapkan identitas bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang ada dan diakui oleh sebagian besar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan asli di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan mengembangkan kemapuan anak untuk berpikir rasional, kritis, penarikan kesimpulan berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini dapat dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing dalam pendidikan Indonesia hendaknya berdasarkan pada prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika dengan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan menghasilkan sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yang bersifat global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif tentang fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu dapat dipertemukan dengan konsep tri pusat pendidikan Ki hajar Dewantara: keluarga, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka dan media massa.

Untuk mengantisipasi tidak terjadinya konflik global antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-realitas dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup penting diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis, dan olahragawan juga merupakan kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana untuk memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian pula, buku-buku khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya tingkat nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha sebagai berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional di forum-forum resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor swasta. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku bangsa, usaha yang sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan forum-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kator pemerintah dan swasta, dengan menerima siswa atau mahasiswa dan pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dan dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi penting, misalnya dalam agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, dengan mencegah adanya kemungkinan daerah yang sebagian maju dan sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3) menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (5) meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi segenap dipersivitas yang ada di Indonesia, (3) pembatasan program-program pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan, media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.

Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui program-program (1) menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2) menegakkan disiplin serta tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan dan kebudayaan adalah suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah maupun program-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas di daerah, lembaga pemerintah di daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya adalah sebagai berikut. Antara pemda kabupaten dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, masyarakat dan pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (masyarakat) yang memiliki pendidikannya. Pemda wajib membantu masyarakat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas di daerah memiliki hubungan konsultatif dengan masyarakat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tersebut akan menciptakan peluang bagi universitas di daerah untuk menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat penting dalam memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri dari unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi memiliki unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, mengembangkan dimensi lokal berarti pula mengembangkan dimensi globalnya karena unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.

6. Penutup
Lamanya zaman penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia cukup memberikan pengaruh signifikan terhadap mental para pemegang kebijakan di bidang pendidikan Indonesia. Mereka sulit berubah dalam menentukan arah pendidikan untuk menuju pada sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan dikembangkan lebih banyak mengarah pada pencapaian tujuan pelestarian kekuasaan ketimbang upaya memanusiakan manusia.

Paradigma lama pendidikan Indonesia yang berkembang secara subur selama Orde Baru dampaknya masih sangat dirasakan hingga sekarang. Dampak berlakunya paradigma lama tersebut adalah tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia, jumlah pengangguran semakin bertambah dari tahun ketahun, terabaikannya peranan pendidikan informal yang justru menjadi sumber pengembangan pertama kreativitas anak bangsa, pendidikan mengutamakan supply ketimbang demand, sakralisasi ideologi nasional yang berakibat penjinakan terhadap critical dan creative thinking, dan keterpurukan di bidang profesi bagi para praktisi pendidikan. Oleh sebab itu, sangat diperlukan gagasan untuk menuju paradigma baru pendidikan Indonesia di milineum ketiga ini.

Paradigma baru pendidikan Indonesia berorientasi pada landasan dan azas pendidikan Indonesia. Lima landasan pendidikan yang diacu adalah: landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan kultural, landasan psikologis, dan landasan ilmiah dan teknologi. Sedangkan asas pendidikan yang diacu adalah asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Landasan dan azas pendidikan tersebut, diharapkan dapat melahirkan paradigma demokratisasi pembelajaran, paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional dan nasional, paradigma polarisasi, sistematisasi, proliferasi sistem delivery, politisasi pendidikan, dan paradigma pemberdayaan pendidikan berbasis masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
  2. Buchori, M. 2001. Pendidikan antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
  3. Budhisantoso, S. 1989. Peranan perguruan tinggi dalam pengembangan kebudayaan yang didukung oleh perkembangan ilmu dan teknologi. dalam Sasmojo, S., dkk. (eds). Menerawang masa depan ilmu pengetahuan, Teknologi & Seni. Bandung: ITB
  4. Dimyati. 2001. Akulturasi teknologi pendidikan dalam masyarakat Indonesia tansisional. Malang: CV. Wineka Media.
  5. Dimyati, M. 2000. Demokratisasi belajar pada lembaga pendidikan dalam masyarakat Indonesia transisional: Suatu analisis epistemologi ke Indonesiaan.
  6. Freire, P. 1985. Pendidikan kaum tertindas, Jakarta: LP3S
  7. Hanurawan, F. 2000. Filsafat pendidikan demokrasi sebagai landasan pendidikan masyarakat Indonesia Baru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(2). pp 117-127.
  8. Kartini Kartono. 1997. Tinjauan politik mengenai sistem pendidikan nasional: beberapa kritik dan sugesti. Jakarta: Pt. Pradnya Paramita.
  9. Koentjaraningrat. 1993. Masalah kesukubangsaan dan integrasi nasional. Jakarta: Universitas Indonesia, Press.
  10. Kuhn, Thomas S. 2002. The structure of scientific revolution. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 
  11. Longworth, N. 1999. Making lifelong learning work: Learning cities for a learning century. London: Kogan Page.
  12. Mulyana, D., & Rakhmat, J. 1996. Komunikasi antar budaya: Panduan komunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: PT. Remaja Kosdakarya.
  13. Oetama, J., & Widodo, J. 1990. Menuju masyarakat baru Indonesia: Antisipasi terhadap tantangan abad XXI. Jakarta: Gramedia.
  14. Parawansa, P. 2001. Reorientasi terhadap strategi pendidikan nasional. Makalah. Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
  15. Redja Mudyahardjo, Waini Rasyidin, dan Saleh Soegianto. 1992. Materi pokok dasar-dasar kependidikan. Modul 1-6. Jakarta: P2TK-PT Depdikbud.
  16. Reigeluth, C. M. (Ed.). 1999. Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II. pp.51-68. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
  17. Suyanto, 2001. Formula pendidikan nasional era global. Makalah. Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
  18. Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani Indonesia: Strategi reformasi pendidikan nasional. Bandung: PT. Remaja Kosdakarya.
  19. Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
  20. Tirtarahardja, U. & La Sula. 2000. Pengantar pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
  21. Van Peursen, C.A. 2001. Strategi kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
  22. Watloly, A. 2001. Tangung jawab pengetahuan: Mempertimbangkan epistemologi secara kultural. Yogyakarta: Kanisius.
Read More