ABSTRAK
Karya
sastra tidak selamanya.dipandang sebagai karya seni yang berguna sebagai alat
penghibur saja, melainkan lebih dari itu. Karya sastra sebagai produk dari
masyarakat pendukungnya tidak sekedar menampilkan cerita demi cerita yang
bersifat imajinatif belaka, tetapi kemampuannya untuk merekam segala hal yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat telah menjadikannya sebagai "pintu
masuk" bagi generasi sekarang untuk melihat kehidupan masa lalu. Misalnya,
keberadaan legenda sebagai salah satu produk karya sastra, meski pengarangnya
cenderung anonim, tidak hanya menjadi objek kajian bahasa dan sastra semata,
tapi banyak pihak juga menjadikannya sebagai bahan kajian sejarah. Hal yang
sama juga dapat ditemukan dalam kajian-kajian terhadap roman atau novel,
misalnya dalam roman Siti Nurbaya atau roman Dian yang Tak Kunjung Padam.
Penulis karya sastra yang hidup pada zamannya, seperti dua pengarang pada dua
roman yang berbeda itu setidaknya telah merekamkan bentuk-bentuk bahasa,
mengingat kedua roman ini juga menunjukkan pemakaian bahasa Melayu pada masa
itu, meski dalam penulisan dan penerbitannya sesudah Sumpah Pemuda, sebagai
tonggak pengakuan adanya bahasa Indonesia. Selain itu, setting penceritaannya
juga dianggap mampu menunjukkan aktivitas ataupun peristiwa yang terjadi pada
masa lalu. Oleh sebab itu, pemanfaatan kajian karya sastrip sebagai data bahasa
dan data sejarah perlu dibahas lebih mendalam, terutama dengan menunjukkan
bukti yang signifikan dikedia disiplin tersebut karena pada dasarnya kajian ini
memiliki relevansi yang saling menunjang dan saling cakrawala ilmu pengetahuan.
Kata kunci: Karya
Sastra, Legenda, Roman, Bentuk Bahasa, Sejarah
BAB I
PENDAHULUAN
Sastra
tidak dapat dipandang sebagai bidang yang kosong, tetapi sastra atau
kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai
manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan
mempunyai efek yang positif terhadap kehidupan manusia atau kemanusiaan (Esten,
1978:9).
Pujangga
besar Yunani, Horatius dalam bukunya Ars Poetica seperti dikemukakan kembali
oleh Teeuw (1984:183) menyatakan bahwa tujuan penyair menulis sajak adalah
memberi nikmat dan berguna (dulce et utile). Sesuatu yang memberi nikmat atau
kenikmatan berarti sesuatu itu dapat memberi hiburan, menyenangkan,
menenteramkan, dan menyejukan hati yang susah. Sesuatu yang berguna adalah
sesuatu yang dapat m,emberi manfaat, kegunaan, dan kehikmahan. Oleh karena itu,
berkait dengan manfaat karya sastra disebutkan bahwa:
1)
Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai
kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan
2)
Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui
pengalaman hidup para tokoh dalam karya
3)
Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca
dari gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat yang digambarkan
dalam karya sastra
4)
Karya sastra mengandung unsur pendidikan, di dalam karya
sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi.
5)
Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi sarana penyampaian
ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya.
6)
Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau
penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakatyang digambarkan dalam karya
sastra tersebut dalam kurun waktu tertentu.
Karya
sastra dengan kekayaan jenisnya menjadi objek studi wacana yang sangat kaya
data. Sebagai sistem model kedua sesudah bahasa di satu pihak, sebagai sistem
komunikasi yang kompleks di pihak yang lain, maka karya sastra sebagai wacana
dan teks dapat dianalisis dari berbagai segi. Lebih dari itu, setiap aktivitas
kebudayaan, khususriya daldm bentuk bahasa dapat dianalisis sebagai wacana.
Lebih lanjut dikatakan, berkaitan dengan itu pula, tidak mengherankan apabila
muncul analisis wacana naratif yang sangat luas dengan pusat perhatian yang
berbeda-beda. Misalnya, sosiolinguistik pada variabel interaksi sosial, psikolinguistik
pada hasil pemahaman dalam kaitannya dengan kejiwaan, termasuk linguistik murni
pada hubungan kalimat sebagai wujud konkret, bebas konteks.
Berdasarkan
panduan di atas, maka makalah ini akan membahas pemanfaatan kajian karya sastra
sebagai data bahasa dan data sejarah dengan menghadirkan kajian terhadap 3
(tiga) bentuk karya sastra yang relevan, yaitu Legenda Asal Usul Nama Kota
Toboali, novel Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, dan novel Dian yang Tak Kunjung
Padam. Tentu saja masih banyak karya sastra yang relevan, akan tetapi karena
keterbatasan waktu dan analisis, maka hanya ketiga karya satra ini yang
dipilih. Pemilihan, ketiga karya sastra ini atas dasar pertimbangan rentang
waktu, baik yang berkait dengan cerita yang menyebar secara turun-temurun,
selain novel yang memang mewakili rekaman peristiwa sesuai dengan zamannya.
Ketiga karya sastra ini juga diyakini dapat membantu menemukan data bahasa dan
data sejarah yang amat menarik untuk dibahas.
Untuk
memperjelas arah kajian, penulis menggunakan sosiolinguistik sebagai ilmu dasar
yang dipakai untuk melihat keberagaman data bahasa yang dapat ditemukan, mulai
dari dialek, campur kode, gaya berbahasa, kesantunan berbahasa, sampai kepada
bentuk penyampaiannya, bisa melalui kata, kalimat, bahkan pantun sebagai bentuk
retorika yang disampaikan. Di sisi lain, data sejarah yang dicoba untuk
ditampilkan cenderung berkaitan dengan unsur intrinsik karya sastra itu sendiri,
terutama yang berkaitan dengan tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari ruang dan
waktu dalam karya sastra itu sendiri. Tentu saja dalam kaitan analisis muatan
kesejarahan (baca: data sejarah) dalam karya sastra ini tidak semata berpijak
pada unsur "imajinatif karya sastra itu, tetapi lebih dekat kepada fakta
atau peristiwa yang relevan dengan isi karya sastra itu sendiri dan
masyarakatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kajian Terhadap Legenda Asal-Usul Nama Kota Toboali
Legenda
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu
kejadian yang sungguhsungguh pernah terjadi. Menurut Danandaja (2002) legenda
bersifat keduniawian, terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan
bertempat di dunia sepm ii yang kita kenal sekarang. Legenda sering dipandang
tidak hanya merupakan cerita belaka namun juga dipandang sebagai
"sejarah" kolektif, namun hal itu juga sering menjadi perdebatan
mengingat cerita tersebut karena kelisanannya telah mengalami distorsi.
Bertitik tolak pada pandangan di atas, maka beberapa versi cerita legenda
asal-usul Kota Toboali pada dasarnya dapat diketengahkan di sini.
1)
Berdasarkan data dalam buku Cerifa Rakyat dari Sumafera
Selatan yang ditulis B. Yass Apa saja yang mereka tanyakan kepada orang itu
hanya dijawab dengan sepatah kata, "Tobo ni Ali". Dalam bahasa Melayu
Palembang, tobo berarti aku. Pria itu mengatakan bahwa namanya Ali. Maksud
jawabannya, " Aku ini Ali". Lama kelamaan panggilan itu berubah
menjadi Tobo Ali saja. Singkat cerita, lama-kelamaan Tobo Ali menunjukkan
prestasi yang berbeda dari rakyat biasa, sehingga Sang Kapitan mengajaknya
bicara. Maaf Tuan Kapitan, selama ini saya berdusta mengatakan saya nelayan.
Saya adalah salah seorang kepala pasukan laut Kerajaan di Palembang. Saya
memimpin pasukan perang dan patroli laut.
2)
Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan,
ditemukan tambahan versi cerita:
Konon
menurut cerita, salah satu daerah yang tersisa dan merupakan awal mula
berdirinya Kota Toboali, terletak di Kelekak Toboali/Kuburan Keramat (Kelekak
Kramat Baher) kurang lebih 5km ke arah selatan kota Toboali karena di sebelah
Timur terdapat lokasi perkampungan tua yakni kampung Tagag dan sebelah barat
ada dusun Baher (Bagger: bahasa Belanda). Yang menjadi pusat keramaian saat
itu. Pada kisaran abad 17 pertengahan Wilayah Selatan Pulau Bangka ini
merupakan daerah persinggahan para pedagang. Berdasarkan fakta sejarah
diketahui bahwa timah pertama kali ditemukan pertama kali pada tahun 1709 pada
penggalian di sungai Olin Kecamatan Toboali. Oleh orangorang dari Johor
kemudian pada tahun 2 Juli 1722 Belanda memperoleh hak istimewa untuk menguasai
perdagangan dari Kerajaan Palembang Darusallam secara monopoli. Konon menurut
cerita masyarakat secara turun temurun sebagai wilayah perdagangan, wilayah ini
merupakan tempat yang ramai dan tak terhindar dari kejahatan. Banyaknya para
perompak atau disebut juga dengan "Lanon", di wilayah ini kemudian
dilaporicar) ke Kerajaan Palembang Darussalam, masa Pemerintahan Sultan
Baharuddin I pada masa itu. Maka Sultan kemudian mengirimkan pasukan untuk
mengamankan daerah laut Pulau Bangka dipimpin oleh Raden Ali. Pasukan ini pun
membuat benteng pertahanan di daerah Kelekak Toboali sebagai lokasi strategis
yang dekat dengan laut. Salah satu pasukan Raden Ali adalah seorang penjahit
keturunan Tionghoa, Lie Saw Mie yang digelar "Tukang Baju", yang
memiliki keahlian berbahasa daerah, sehingga menjadi intelejen yang munyusup di
antara para pedagang untuk mendapatkan informasi. Di Kelekak Toboali sendiri
pada saat ini masih ada tanah yang digali yang diperkirakan sebagai parit
sebagai benteng pertahanan, menurut cerita ukurannya adalah sebagai berikut :
Panjang 100m x 100m x 1 m dan dalamnya 4 meter. Di sekitar tempat tersebut
masih terdapat makam terpelihara baik diantaranya : 1. Kubur Raden 2. Kubur
Raden Ayu 3. Dan antara kubur Raden Wahab dan Raden Ayu terdapat dua kuburan
yaitu diantaranya kuburan Panglima Ali Tempat inilah yang merupakan tempat
tertua yang merupakan asal muasal nama Toboali. adapun versi cerita asal usul
nama kota Toboali lainnya adalah sebagai
berikut (1) Sebagian orang mengatakan /menceritakan
bahwa pada tempat tersebut terdapat kebun tebu mitik Ali dan orang menyebut
daerah itu "Tebu Ali". Tiap kali bila orang bertanya dijawab dengan
jawaban yaitu "Tebu Ali". (2) Tetapi sebagian mengisahkan bahwa
"Tebu" itu dipindakan atau di "ale" (bahasa dialek
Toboali), Dan kemudian menjadi "Tebu Ale". 3. Sebagian lagi
menceritakan bahwa disana dahulu ada pahlawan yang bernama "Ali".
Pada suatu ketika terjadi pertempuran , sehingga pahlawan ali tertangkap dan
dihukum dengan hukuman pancung lehernya dipotong tetapi lehernya kembali
menyambung kemudian dipotong lagi sampai tiga kali namun kembali menyambung
kembali. Karena keadaan yang demikian rupa, untuk mengatasi agar kepalanya
bersambung (hidup kembali) kemudian kepalanya dipisahkan dan dibawa ke Pulau
Lepar.
3)
Menurut Minardi, salah seorang warga Kota Toboali. Konon pada
zaman dahulu kala terdapat sebuah kerajaan di pulau sumatera. Kerajaan tersebut
memiliki seorang putra mahkota yang bernama Ali. Pada suatu pelayaran ke pulau
Bangka Ali menjadi
pimpinan armada
kapal kerajaan tersebut Ali merupakan seorang putra mahkota gagah berani
sehingga ia menjadi anak kesayangan raja. Dalam perjalanan menuju bangka armada
kapal kerajaan tersebut yang membawa misi ekpansi wilayah kerajaan dihadang
cuaca yang kurang bersahat sehingga menyebabkan kapal yang dinakhodai Ali
tenggelam tidak meninggalkan sutu awak kapalpun.Mendengar kabar tenggelamnya
kapal tersebut raja langsung memerintahkan untuk mencari keberadaan anak
kesayangannya. Pencarian berlangsung hingga menyusuri seluruh pantai yang ada
di pulau bangka karena menurut perkiraan kapal tersebut akan hanyut ke pantai
sebelah selatan pulau bangka. Dalam misi pencarian tersebut mendapatkan tubuh
(tobo) putra mahkota tersebut tepat di Pantai Bahar sekarang tanpa kepala.
Untuk mengenang tempat ditemukan tersebut raja memberi nama Toboali yang
berarti tubuh Ali.
Dari
uraian di atas terlihat dengan jelas bagaimana data bahasa memiliki peranan
penting dalam memaknai kata Toboali. Pertama, Toboali yang berasal dari Tobo ni
Ali; Kedua, Toboali yang berasal dari kata kebun tebu milik Ali; Ketiga,
Toboali berasal dari
Tebu ale (kebun tebu
yang dipindahkan) dan keempat kata kemudian, data sejarah yang terdapat dalam
legenda itu juga menunjukkan kejadian atau peristiwa yang pernah terjadi di
masa lalu, setidaknya berdasarkan kaitannya dengan penemuan timah di Pulau
Bangka tahun 1702, atau sekurang-kurang nya pada masa awal Belanda mengeksploitasi
timah di Pulau Bangka, dengan penanda pemakaian kata bagger (dari bahasa
Belanda) yang berubah menjadi nama dusun Baher.
2. Kajian Terhadap Novel Siti Nurbaya
Menurut
hemat penulis, novel Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli dan terbit tahun
1922 merupakan salah satu novel yang dapat dikaji balk dari sisi kebahasaan
maupun kesejarahannya.
1) Data Bahasa
Beberapa hal yang
berkait dengan data bahasa dalam novel ini adalah sebagai berikut.
a. Campur Kode
Ada
beberapa prengertian campur kode (code mixing) dalam sosiolinguistik, namun
dapatlah disarikan dalam campur kode terdapat kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kodekode lain yang
terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja,
tanpa tungsi atau keotonomiao 5euagai sebuah kode (Chaer dan Agustina,
1995:151).
Dari
hasil pembacaan dan analisis campur kode dalam novel Siti Nurbaya ditemukan
beberapa kata yang diyakini berasal dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun
bahasa Minang, selain bahasa Melayu sebagai bahasa utama novel tersebut.
apenberg
gunung
kera
bantal seraga
bantal
tinggi
belasting
pajak
gombang
tampan;
gagah
hoft jaksa
kepala
jaksa
seterup
sirup
kue tar
kue
sepekuk
nama
jenis kue
ontgroening
perpeloncoan
pekasih
guna-guna
sekolah opseter
(KWS)
sekolah
teknik
bagai bertemu buah
simala kamo
si mala kama
kebunnya beratusbahu
saluran
luas tanah (500 tombak
Sawahnya
beratuspiring
petak
(sawah)
b. Pantun sebagai Sarana Retorika
Novel
Siti Nurbaya banyak memuat pantun yang bersumber pada diri penulis untuk
memperjelas suasana, bahkan juga digunakan oleh tokoh Siti Nurbaya dan
Samsulbahri dalam diaiognya. Penggunaan pantun dalam novel ini menunjukkan
retorika masyarakat penutur bahasa Melayu pada masa itu, tak terkecuali
masyarakat Minang, seperti yang dikutip berikut ini.
Padang
Panjang dilingkar bukit
Bukit
dilingkar kayu jati
Kasih
sayang bukan sedikit
Dari
mulut sampai ke hati
Jika ada
sumur di ladang
Tentu boleh
menumpang mandi
Jika ada
umurku panjang
tentu
boleh bertemu lagi
Bulan
terang bulan purnama
Nagasari
disangka daun
Jangan
dikata bercerai lama
bercerai
sehari rasa setahun
Seragi
kain dengan benang
Biar terlipat
jangan tergulung
Serasi
adik dengan abang
Sejak di
rahim bunda kandung
Dari
Medang ke Pulau Banda
Belajar lalu
ke Bintuhan
Tiga
bulan di kandung Bunda
Jodoh 'lah
ada pada Tuan
Anak
Cina duduk menyurat
menyurat
di atas meja batu
Dari
dunia sampai akhirat
tubuh
yang dua jadi satu
Berlubur
negeri berdesa
Ditaruh pinang
dalam puan
Biar
hancur biar binasa
asal
bersama dengan Tuan
Pulau
Pinang kersik berderai
tempat
burung bersangkar dua
Jangan
bimbang kasih'kan cerai
jika
untung bertemu jua
Ke rimba
ke padang jangan
Bunga cempaka
kembang biru
Tercinta
terbimbang jangan
Adat muda
menanggung rindu
Ke rimba
orang Kinanti
Bersuluh
api batang pisang
Jika
tercinta tahankan hati
Kirimkan
rindu di burung terbang
Tinggi-tinggi
si matahari
Akan kerbau
terlambat
Sekian
lama aku mencari
Baru sekarang
aku mendapat
Anak Cina
bermain wayang,
Anak Keling
bermain api.
Jika
siang terbayang-bayang,
jika
malam menjadi mimpi
2) Sikap Bahasa / Kesantunan Bahasa
Sikap
bahasa atau kesantunan bahasa menjadi salah satu topik yang cukup menarik untuk
dikaji, baik dari sisi sosiolinguistik maupun pragmatik. Terlepas dari
tarik-menarik antarkedua disiplin ilmu itu, novel Sifi Nurbaya juga merekamkan
petuah yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa, seperti yang dikutip berikut
ini.
"Apabila
aku tak ada lagi," kata Baginda Sulaiman pula, "lebih berhati-hatilah
engkau menjaga diri, pandai-pandai memeliharakan badan; berkata di bawahbawah*),
mandi di hilir-hilir, sebagai kata peribahasa. Karena sesungguhnya, bahasa
itulah yang menunjukkan bangsa, istimewa pula, karena sekalian manusia yang
baik, lebih suka kepada budi bahasa yang manis, perkataan yang lemah-lembut
daripada tingkah laku yang kasar, perkataan yang tiada seno-noh (Siti Nurbaya,
hal 183).
*) di bawah-bawah =
merendah
3) Data Sejarah
Beberapa
data sejarah yang ikut terekam dalam novel Siti Nurbaya ini antara lain yang
dapat dikemukakan di sini ialah setting ataupun peristiwa yang menunjukkan
ruang dan waktu pada masa penjajahan Belanda, di antaranya:
a. Guru Belanda
"O,
ya, Sam. Tadi aku diberi hitungan oleh Nyonya Van der Stier, tentang perjalanan
jarum pendek dan jarum panjang, pada suatu jam. Dua tiga kali kucari hitungan
itu, sampai pusing kepalaku rasanya, tak dapat juga. Bagaimanakah jalannya
hitungan yang sedemikian?" (Siti Nurbaya, hal 8)
b. Sekolah Belanda
Anak
laki-laki yang dipanggil Sam oleh ierwarnoya taui, idiaiv Samsulbahri, anak
Sutan Mahmud Syah, Penghulu di Padang; seorang yang berpangkat dan berbangsa
tinggi. Anak ini telah duduk di kelas 7 Sekolah Belanda Pasar Ambacang.
Olehsebab ia seorang anak yang pandai, gurunya telahmemintakan kepada
Pemerintah, supaya ia dapat meneruskan pelajarannya pada Sekolah Dokter Jawa
di Jakarta.(Siti Nurbaya, hal 11)
c. Penggunaan Batu
Tulis
"Begini.
Cobalah pinjami aku batu tulismu itu!" kata si Sam pula, seraya mengambil
batu tulis si Nur dan membuat sebuah garis yang panjang di atasnya. (Siti
Nurbaya, hal 9)
d. Perang Belasting
Setelah
masuklah kapal yang membawa Letnan Mas ke pelabuhan Teluk Bayur, turunlah
sekalian bala tentara itu ke darat, lalu langsung berjalan ke kota Padang, Di
sana gemparlah isi kota, melihat bala tentara sekian banyaknya datang; cukup
dengan alat senjata dan meriamnya. Yang seorang bertanya kepada yang lain:
"Mengapakah didatangkan serdadu sekian banyaknya ini?" "Tidakkah
engkau tahu?" jawab yang ditanyai. "Seluruh tanah jajahan Belanda
akan rusuh, sebab anak negeri hendak melawan; tak mau mc1nfJayal
uelasiiny." (Slti Nurbaya, 359)
Menurut
hemat penulis, rekaman peristiwa tentang perang belasting, yang
"dilakoni" oleh Letnan Mas, yang tak lain adalah tokoh Samsulbahri,
walaupun terdapat di dalam karya imajinatif, tapi setidaknya
"mengingatkan" bahwa di Ranah Minang memang terjadi pergolakan yang
disebut dengan perang belasting. Perang belasting merupakan perang bersenjata
pada 15-16 Juni 1908 yang melibatkan rakyat Sumatera Barat melawan pemerintah
kolonial Belanda akibat penerapan pajak (belasting) langsung kepada ma
syarakat. Perlawanan masyarakat atas pemberlakuan pajak langsung ini dibalas
oleh pemerintah Belanda dengan reaksi keras mengirimkan marechaussee (marsose)
ke daerah konflik tersebut, yang akhirnya menimbulkan korban jiwa pada
masyarakat maupun tentara kolonial.
3. Kajian Terhadap Novel Dian Yang Talk Kunjung Padam
Novel
Dian yang Tak Kunjung Padam ditulis Sutan Takdir Alisyahbana. Novel yang
diterbitkan tahun 1932 ini memiliki kemiripan dengan novel Siti Nurbaya karena
kisah cinta tokoh utamanya Yasin dan Molek tidak kesampaian. Perbedaan yang
mendasar di sini terlihat dari setting-nya tentang kota Palembang dan Gunung
Megang, Muara Enim, serta kawasan Palembang 'palembang' sekitarnya.
1). Data Bahasa
Beberapa hal yang
berkaitan Besak dengan data bahasa dalam
novel Kemendur Dian yang Tak Kunjung Padam ialah
sebagai berikut :
a. Campur Kode
Dari hasil pembacaan dan analisis campur
kode dalam novel Dian yang Tak Kunjung Padam ditemukan beberapa kata yang
diyakini berasal dari bahasa lain, selain bahasa Melayu sebagai bahasa utama
novel tersebut.
Penes 'perahu pinisi'
Uluan 'daerah hulu Palembang
Dasar “bahan kain untuk
dibuat pakaian
Sepikul “ 100 Kg”
Tengah dua pikul ‘150 Kg’
Pesirah ‘kepala marga setingkat
camat’
Pembarap ‘kepala desa ‘
Mungmung ‘sejenis gong’
Kelentungan ‘sejening kentongan’
Lanting buluh `rakit
bambu'
Penunggu ‘hantu’ ‘makhluk ghaib’
Keruntung ‘keranjang bambu/rotan yang di
paggul
Sungai musi ‘ nama sungai di palembang’
Palembang ‘palembang’
16 hilir ‘nama pasar di
palembang’
Benteng ‘Benteng kuto besak’
Kemendur ‘kontrolir Belanda’
Rumah resident ‘pejabat belanda’
Kertapati ‘nama tempat di Palembang’
Onderdeming ‘perkebunan’
Boombaru ‘pelabuhan baru’
Gunung megang ‘nama tempat di Muara Enim’
Gunung seminung ‘nama tempat di Kabupaten OKU Selatan’
Danau rau ‘Nama danau di Kabupaten OKU
selatan’
Stormking ‘sejenis lampu petromak’
Selop ‘sandal’
Muara enim ‘Kota muara enim’
Kroi ‘Nama tempat krui,
Lampung’
Dusun Sukau “nama desa di kabupaten OKU
Selatan’
Candibalang/can
diwalang ‘kompleks perkuburan raja-raja Palembang’
Hekwieler ‘Kapal dengan penggerak roda
besar belakang'
'kapal roda lambung (BP)'
Dari
data di atas dapat dilihat bahwa campur kode yang ditemukan adalah masuknya
kode atau kata dari bahasa lain, yaitu bahasa daerah (Palembang) seperti pada
kata penes, uluan, dasar, sepikul, pesirah, dan pembarap, termasuk nama-nama
tempat khas lokal. Kemudian kode atau kata dari bahasa asing onderneming,
residen, hekwieler (Belanda) serta stormking (Inggris). Dapat dibandingkan pula
bahwa sepikul versi bahasa daerah atau bahasa Melayu adalah 100 kg, berbeda
dengan takarannya dalam bahasa Indonesia, yakni 65 kg.
b. Sapaan dan Kesantunan Berbahasa
Kridalaksana
(1985:15) menyatakan bahwa kajian terhadap sistem tutur sapaan memperlihatkan
kepada kita betapa aneka warnanya sistem sapaan itu. Keanekawarnaan itu
ditentukan oleh adanya beberapa faktor, misalnya faktor dialek sosial, faktor
variasi situasi, faktor sifat hubungan, dan faktor multilingualisme.
Berikut
ini disajikan sapaan yang terdapat dalam novel Dian yang Tak Kunjung Padam.
Encik `sapaan
untuk laki-laki yang sedang kedudukannya atau yang tidak dikenal'
Ayah 'sapaan
untuk orang ,
Ibu 'sapaan
untuk orang tua perempuan'
Ayuk 'sapaan
untuk kakak perempuan' (bahasa Palembang)
Kakanda 'sapaan mesra untuk kakak laki-laki
atau yang dianggap kakak laki-laki'
Adinda `sapaan
mesra untuk adik atau yang dianggap adik'
Tuan 'sapaan
untuk laki-laki yang dihormati'
Paman 'paman'
Bibi `bibi'
Terlepas
dari sapaan yang digunakan, pada dasarnya penggunaan sapaan juga telah
menunjukkan kesantunan dalam berbahasa, karena penggunaan sapaan tiada lain
juga untuk menunjukkan rasa hormat kepada lawan bicara.
2) Data Sejarah
Meski
tidak memunculkan fakta sejarah yang diduga bersamaan waktunya, seperti perang belasting
' di Sumatera Barat, seperti
terekam dalam novel Siti Nurbaya, novel Dian yang Tak Kunjung Padam menunjukkan
fakta sejarah yang berkaitan dengan situasi Kota Palembang pada masa novel itu
ditulis. Misalnya, suasana Pasar 16 Ilir Palembang yang digambarkan sedemikian rupa, lengkap dengan
perniagaan yang berlaku.
Yasin
telah menjual paranya.
la pergi membeli-membeli ke Pasar enam Belas Ilir, sebab esok hari
ia akan pulang ke dusun.
la mencari bermacam-macam perkakas kebun dan ibunya membeli
keperluan rumah seharihari dan beberapa helai kain (DYTKP, 2010:13).
Kemudian,
transportasi air yang sangat dominan. Dalam kaitan ini, misalnya, perjalanan
dari Muara Enim ke Palembang, dan sebaliknya pada masa itu ditempuh dengan
menggunakan alat transportasi air berupa kapal (hekwieler), yang lazim disebut
penduduk setempat dengan nama kapal roda lambung.
Demikianlah
lewat Lohor ia bertolak pula dengan perahunya, tetapi oleh karena amat lelah
tiadalah ia berkayuh-kayuh. Setelah perahunya dibawanya ke tengah sungai, ia
pun merebahkan diri di belakang hingga tertidur, karena ia sangat letih.
Berjam-jam lamanya ia hanyut di Sungai Lematang yang lebar dan deras itu dengan
tiada insaf sedikit jua pun. Hampir senja ia terbangun karena mendengar peluit
hekwieler yang amat mersik bunyinya dan ketika ia melihat ke muka, maka
tampaklah olehnya kapal sungai yang besar itu sudah sangat dekat pada
perahunya. Dengan tergopoh-gopoh diambilnyalah pengayuh dan ditepikannyalah
sampannya itu (DYTKP, 2010:28).
Selain
itu, tokoh Yasin hilir(l1UUIK dal l UUi iui y iviC9al y (\C Palembang dan
sebaliknya justru menggunakan perahu ataupun rakit, dan sesekali menggunakan
kereta api.
Dua bulan sekali
pergilah Yasin dengan rakit ke Palembang membawa pisangnya. Biasanya ia di
jalan sehari semalam dan kalau kembali ke kebunnya, ia pun naik kereta api
sampai ke Dusun Gunung Megang, akan menjemput ibunya. Kalau ia pergi menjual
pisang, orang tua itu tiada pernah dibawanya, melainkan diantarkannya dahulu
ke rumahnya di dusun (DYTKP, 2010:19)
BAB III
PENUTUP
Karya
sastra tidak hanya sebagai sebuah karya estetika, juga memuat data bahasa dan
data sejarah yang dapat dikaji sesuai dengan bidangnya secara mendetil.
Berdasarkan kajian sederhana yang dilakukan terhadap legenda Asal Usul Kota
Toboali, novel Siti Nurbaya, dan novel Dian yang Tak Kunjung Padam, pada
kenyataannya karya sastra tersebut tidak hanya menggambarkan situasi masyarakat
pada masa itu, 'sekurangnya dalam konteks sejarah, tetapi juga merekam data
kebahasaan yang berlaku, misalnya campur kode dan sapaan/kesantunan berbahasa,
sampai kepada pantun sebagai bentuk retorika yang berlaku. Dengan kata lain,
karya sastra dapat menyediakan data bahasa dan data sejarah.
Mengingat
kajian ini dilakukan dengan penun keterbatasan, tentunya masih diperlukan
kajian lanjutan yang lebih luas dan mendalam, yang tentu saja dengan referensi
yang lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
B. Jass. 1993. Cerita
Rakyat Sumatera Selatan Volume l, Legenda Asal Usul Nama Kota Tobo Ali.
Jakarta: Gramedia.
Chaer, Abdul dan Leoni
Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Danandjaja, James.
2002. Folklore Indonesia. Jakarta : Grafiti.
Rahardi, R. Kunjana.
2008. Kesantunan Imparatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ratna, Nyoman Kutha.
2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soemarsono. 2008.
Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutan Takdir
Alisyahbana. 2010. Dian Yang Tak Kunjung Padam. Ja,karta: Dian Rakyat.
Teeuw, A. 1984. Sastra
dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin
Warren. Esten, Mursal. 1978. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar
Baru.